Ketika pertama kali Pak Jokowi menempati istana sebagai rumah kerjanya, banyak hal yang membuat presiden baru ini harus menata ulang rumah tempat kerja barunya.
Bukan hanya sekadar fisik, tapi secara menyeluruh berusaha menjadikan rumah tempat kerja barunya menjadi nyaman untuk dijadikan tempat melaksanakan tugasnya sebagai presiden.
Dalam hal ini memilih orang-orang yang bakal dekat dengannya setiap hari, menjadi juga langkah awal yang harus ia lakukan. Maka bermunculanlah istilah ‘gank Solo’ dan ‘punakawan UGM’.
Karena dengan komunitas dari dua kawanan inilah Jokowi merasa nyaman bekerja. Suatu hal yang wajar dan sangat manusiawi. Tapi kawanan dari dua kelompok ini semuanya terdiri dari warga sipil. Tak ada yang berasal dari individu atau kelompok berlatar belakang militer.
Pada saat awal masuk istana, hanya seorang Jenderal (pensiunan), Hendropriyono, yang sering tampil mendampingi dan cenderung dinilai banyak orang sebagai mentor pendampingnya.
Peran Hendro yang cukup signifikan dalam hal mengantar Jokowi masuk Istana Merdeka, membuat Hendropriyono sebagai figur militer menjadi dikenal sebagai mitra pengelola kekuasaan.
Kemunculannya secara fisik maupun di setiap wilayah kerja di mana pun Jokowi berada, sudah menjadi rahasia umum.
Dominasi Hendro yang cukup menonjol ini, buat seorang penguasa dengan latar belakang kultur Jawa yang selalu berpegang pada kaidah ‘tidak boleh ada matahari kembar’ tentunya tak mungkin membiarkan persepsi umum lebih jauh berkembang.
Seorang raja tak begitu nyaman bila dibayang-bayangi figur lain yang seolah mendominasi hingga berdampak tereduksinya kewibawaan dan eksistensinya sebagai satu-satunya sentral kekuasaan.
Maka tidak mengherankan bila kemudian dihadirkan seorang Jenderal bintang empat pensiunan, Luhut Binsar Panjaitan. Selanjutnya dihadirkanlah institusi khusus lewat nomenklatur baru yang kemudian dikenal sebagai lembaga Kepala Staf Kepresidenan.
Sejak kehadiran Luhut, peran Hendro pun mulai mereda walau tak dibiarkan sepenuhnya memudar. Sebagai imbalan ditempatkan orang kepercayaan Hendro, Jenderal Polisi Gories Mere dan putra Jenderal bintang empat ini, Diaz Hendropriyono. Dengan demikian Hendro merasa tetap terakomodasi dan Luhut pun mulai bebas beraksi.
Ketika jabatan Luhut berpindah-pindah, dari satu menko ke menko yang lain, untuk perimbangan dihadirkanlah Jenderal Purn. Moeldoko dan Wiranto.
Masing-masing sebagai Kepala Staf Kepresidenan dan Menko Polhukam. Kehadiran keduanya ini kemungkinan besar diharapkan agar membuka akses atau pintu lebih lebar lagi bagi Jokowi mendekatkan diri kepada basis–basis militer yang strategis.
Terlebih lagi saat itu figur seorang Gatot Nurmantyo menjadi bayang-bayang yang kehadirannya bagaikan momok di mata penguasa. Semata karena Gatot terlanjur disinyalir cenderung dekat dengan mereka yang dikenal dengan kelompok 212, plus ditengarai cukup ‘mesra’ dengan Cendana.
Agaknya kehadiran dua jenderal, Moeldoko dan Wiranto ini, tidak mampu mengimbangi kelincahan Luhut dengan berbagai manuver lewat gerak kerja di wilayah tanggung jawabnya sebagai Menko Maritim.
Maka dimunculkanlah seorang jenderal kontroversial, Prabowo Subianto. Menempatkan Prabowo yang sudah berhasil dijinakkan sebagai Menteri Pertahanan oleh Jokowi, merupakan suatu terobosan politik yang cukup berani.
Tentunya untuk berperan sebagai penyeimbang baru terhadap gerak Luhut yang telah meroyan dan sangat besar pengaruhnya pada beberapa masalah kebijakan strategis di republik ini.
Dan terbukti kehadiran Prabowo pun memberi nuansa baru dalam permainan ‘power game’ di wilayah kekuasaan.
Bisa jadi permainan perimbangan kekuatan di sekeliling sentral kekuasaan, Jokowi belajar dari Pak Harto. Bagaimana di sisi yang satu ada Ali Murtopo, di sisi lain ada Jenderal Soemitro, Ada Pula Sudharmono, tapi dihadirkan pula Benny Moerdani, dan seterusnya.
Sebuah konsep brilian dalam mengelola perimbangan kekuatan di wilayah Power Game ini, memang dengan baik dilakukan oleh Soeharto.
Hanya saja, berdasarkan catatan sejarah, pola permainan perimbangan kekuatan ini, tragisnya berakhir dengan hasil yang memilukan. Karena semua kekuatan di sekeliling sang Penguasa sentral, malah berbalik menggempur ke arahnya lewat kekuasaan yang dititipkan kepada mereka.
Catatan ini bisa dibuka dalam buku catatan sejarah pada saat kritis Pak Harto menjelang 21 Juni 1998. Hampir semua figur-figur pilihan Pak Harto yang diberikan kekuasaan untuk bermain, akhirnya memainkan permainan akhir yang berujung pada kejatuhan rezim militer Orde Bru di bawah pimpinan Jenderal Besar Soeharto.
Telah terbukti dalam Power Game ini tidak dikenal istilah loyalitas. Karena ‘Power’ itu sendiri mempunyai kekuatan dan daya picu yang membuat diri seseorang ingin lebih berkuasa dari kekuasaan yang dimilikinya hari itu.
Maka ketika pemegang kekuatan sentral melemah, mereka bukan bekerja untuk memperkuatnya, tapi justru membiarkannya melemah dan hancur.
Karena dengan demikian terbuka kemungkinan baru dengan permainan dan pemain baru yang datang menggantikannya.
Nah, apakah Pak Jokowi telah dengan seksama membaca catatan seputar kejatuhan Pak Harto dengan permainan Power Game seperti ilustrasi di atas? Atau telah sampai pada kesimpulan bahwa sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai yang begitu jauh.
Kekuatan senjata telah tergantikan secara sempurna oleh kekuatan uang (ekonomi). Dengan demikian, Power Game gaya baru ukurannya bukan lagi kekuatan komunitas bersenjata yang menjadi pusat kekuatan pendukung. Tapi komunitas pemilik institusi keuanganlah yang diposisikan lebih menjadi back bone-nya kekuasaan.
Sehingga kombinasi antara para Jenderal dan Konglomerat menjadi perpaduan yang lebih menjanjikan.
Dengan demikian kehadiran Prabowo untuk menjadi penyeimbang dari gerakan Luhut dalam kinerjanya yang banyak bersinggungan dengan para ‘Jenderal’ ekonomi, merupakan pilihan yang cukup strategis.
Luhut banyak kawan Konglomerat, begitu juga Prabowo. Tidak demikian dengan Moeldoko dan Wiranto yang rada kaku dalam melakukan selancar di didunia para Taipan.
Hanya masalahnya, siapa figur ‘Jenderal’ yang mewakili komunitas rakyat berikut penderitaan rakyatnya, yang oleh Jokowi ditempatkan sebagai bagian dari pengelolaan ‘Power Game’ ini? Karena tanpa kehadiran seorang ‘Jenderal’-nya rakyat, niscaya istana hanya akan menjadi tempat berembug, bernegosiasi, dan berbagai antara Istana, para Jenderal, dan para konglomerat.
Sementara rakyat tetap meradang dan meraung karena tak ada ‘Jenderal’ yang mewakili untuk menyuarakan penderitaannya.
Semula lewat Pilpres jilid satu dan dua ala Jokowi, seluruh rakyat berharap Pak Jokowi lah sebagai Presiden yang merangkap juga jabatan sebagai ‘Jenderal’-nya rakyat sebagaimana dimaksud.
Wajar bila belakangaan mulai bermunculan kekhawatiran; dikarenakan kejelasan keberpihakan mulai dipertanyakan. Oleh masyarakat yang mulai kritis berpikir dan bersikap, sejumlah kebijakan istana mulai terasakan adanya peralihan warna menjadi abu-abu.
Bersyukur sedikit terhibur ketika Pak Presiden marah-marah menyentil para pembantunya. Tapi lambat laun memudar ketika disuguhkan adegan marah-marah plus derai tangis seorang Risma di Surabaya.
Karena ternyata bagi rakyat, yang penting bukan marah-marahnya, tapi hasil kerja dengan realitas yang jelas terbaca. Rakyat tambah sehat atau tambah sakit, tambah sejahtera atau tambah merana…?
Ternyata yang menjadi ukuran dari seluruh gerak kekuasaan dan permainan kekuasaan bermuara pada satu kesimpulan; apakah bermanfaat buat rakyat, atau sebaliknya ?
Mau Hendro, Luhut, Prabowo, dan entah siapa lagi yang diunggah ke istana, yang terpenting ya itu tadi; Rakyat kudu iso mangan, nduwe sandang lan papan (rakyat bisa makan, punya sandang, punya papan).
Begitulah tugas Jenderalnya rakyat yang kehadirannya selalu kita rindukan. Sampai sekarang !. (Watyutink.com )