Pada 25 Mei 2020, di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, seorang pemuda kulit hitam, George Floyd, tewas di tangan polisi lokal yang secara brutal menghabisi nyawanya.
Ia tewas oleh himpitan pijakan dengkul sang polisi brutal ke bagian leher yang membuatnya tak dapat bernafas.
Tak lama kemudian Ia pun tewas dengan hantaran sebuah erangan saat meregang nyawa...I can’t breathe man, I can’t breathe..!
Dalam waktu singkat kalimat ‘I can’t breathe’ ini pun, menjadi viral ke seluruh penjuru dunia.
Untuk situasi di negeri ini, bukan erangan ‘I can’t breathe’ yang berpotensi akan hadir menggema.
Tapi erangan jutaan rakyat kecil yang tercekik bukan oleh oknum polisi brutal, tapi oleh himpitan kekejaman ekonomi yang begitu dahsyat.
Pada saatnya, jutaan rakyat secara berjamaah akan meneriakkan erangan…”I can’t eat…coz nothing to eat…!” (nggak bisa makan karena nggak ada yang dimakan ! )
Mereka teriakan erangan ini dalam kondisi nganggur kehilangan tempat kerja, tanpa penghasilan, kelaparan dan resah karena harus hidup tanpa ketersediaan uang dan persediaan makanan yang diperlukan keluarganya.
Bakal terjadi lebih cepat bila kabar baik dan cerita manis seputar kehidupan ekonomi nasional, secara rutin sengaja dilontarkan pemerintah melalui mulut beberapa menteri pembantu Presiden di bidang ekonomi.
Sementara kehidupan nyata di wilayah ekonomi rakyat pada lapisan papan bawah, sangat tak menentu dan semakin terpuruk.
Maka realita ini akan semakin memicu lahirnya berbagai keresahan yang bersifat massal.
Potensi munculnya keresahan ini bisa jadi malah bermula di wilayah kehidupan masyarakat miskin kota dan urban kota.
Bukan dari penduduk desa maupun rakyat di daerah pelosok yang tertinggal sekalipun.
Karena masyarakat pedesaan dan kaum miskin yang tinggal di wilayah pesisir mempunyai cara untuk merawat kehidupan dengan selalu bersahabat dan merawat alam sebagai kawan hidup yang menghidupi mereka (bertani, bercocok tanam, melaut).
Mereka masih bisa bertahan hidup seadanya karena ditunjang oleh budaya keseharian hidup mereka.
Sementara kaum miskin kota dan urban kota (buruh miskin-kaum proletar) adalah kelompok masyarakat yang sangat merasakan betapa dahsyatnya dampak ketersendatan ekonomi di perkotaan yang nyaris mandeg terserang wabah pandemik Covid-19.
Mereka hidup dalam tekanan ekonomi yang tinggi. Hidup tanpa penghasilan, merupakan kegelapan hidup yang sangat mendasar.
Sangat rawan dan sangat berpotensi mengundang hadirnya gelap pikiran, gelap mata, dan gelap tindakan.
Pemiskinan dan kemiskinan ini tentunya akan merambat ke beberapa celah kehidupan yang tidak melulu kebutuhan perut semata.
Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, pasti akan turut menghimpit dan mencekik leher rakyat miskin perkampungan dan urban kota.
Jurang antara kehidupan kaum miskin dan kaum berada di kota-kota besar, akan semakin tampak. Kecemburuan sosial yang mempertajam pertentangan kelas antara si kaya-dan si miskin, akan semakin tumbuh subur.
Dalam keadaan seperti ini, kita tahu persis, isme apa yang bakal dengan mudah tumbuh subur.
Memang, dana bantuan yang digelontorkan oleh pemerintah untuk meringankan beban tekanan ekonomi ini, amat sangat membantu.
Hanya pertanyaannya; sementara pandemik Covid-19 belum tahu kapan akan berakhir, sampai berapa lama dan berapa jauh bantuan pemerintah ini akan terus bergulir dan bertahan.
Penyebaran dan alokasi dana bantuan pun harus dilakukan secara tepat sasaran, secara adil, dan beradab.
Tanpa semua ini, ancaman meningginya keresahan sosial yang berlanjut dengan munculnya kerusuhan sosial, merupakan sebuah keniscayaan.
Suatu realita yang harus dicermati dan diwaspadai oleh para penguasa di jajaran pemerintahan. Apalagi dengan adanya nafsu besar dari kelompok tertentu yang cenderung mendorong terjadinya pergantian pemerintahan.
Dalam berbagai catatan sejarah, massa di lapisan papan bawah memang bukanlah kelompok yang berpotensi besar untuk memicu terjadinya kerusuhan yang berujung pada terjadinya perubahan dan pergantian sebuah rezim.
Perubahan dan pergantian rezim ini, biasanya hanya bisa terjadi ketika masyarakat kelas menengah menjadi kelompok garda depan yang menjadikan keresahan dieskalasi hingga melahirkan berbagai kerusuhan.
Dengan demikian, tahapan 3-R pun, Resah-Rusuh-Revolusi, menjadi terpenuhi.
Kenyataan telah membuka mata kaum kelas menengah bahwa wabah pandemik ini telah menunjukkan gejala yang berpotensi melumpuhkan perekonomian kota secara nasional.
Begitu banyak sudah di antara mereka yang kehilangan lapangan kerja dan harus hidup tanpa penghasilan.
Ribuan karyawan dari berbagai bidang usaha, mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon yang layak dan lazim.
Sejumlah ruang usaha dan gerai maupun lapak yang menjual berbagai jenis dagangan sebagai sumber income ribuan rakyat (pegawainya), satu persatu tutup karena bangkrut tak mampu bertahan hidup.
Menipisnya uang tabungan, dirongrong kewajiban harus membayar tepat waktu cicilan rumah, tagihan listrik, kredit mobil, ditambah biaya kesehatan dan pendidikan anak yang semakin tinggi, merupakan ‘hantu’ menakutkan yang menggerayangi pikiran masyarakat kelas menengah perkotaan.
Walau mereka tak sampai akan turut meneriakan erangan ‘I can’t eat’, tapi kemungkinan besar mereka malah akan turut meneriakan ‘I can’t breathe’. Tentunya dengan muatan yang berbeda dari erangan Gerge Floyd almarhum.
Karena yang menyesakkan dada hingga menyulitkan mereka untuk bernafas, bukan oleh ulah brutal Pak Polisi, tapi oleh himpitan ekonomi yang begitu dahsyat.
Cepat atau lambat hal buruk ini bakal terjadi bila sejumlah menteri, utamanya para pembantu Presiden di bidang ekonomi dan bidang terkait yang erat hubungannya dengan pemicu terjadinya keresahan rakyat, tidak segera diganti.
Tanpa perubahan susunan kabinet yang menghadirkan individu pejabat yang paham rakyat dan bahasa kerakyatan, tahu masalah, berpengetahuan, dan berpengalaman dalam bidang yang dibawahinya, niscaya erangan rakyat yang haus dan lapar, sangat berpotensi bakal terjadi.
Semoga Bapak Presiden siap membuang jauh-jauh dari benak beliau kaharusan membuat para Ketua partai always happy.
Juga obsesi berlebihan tentang millenialisme dan millenial minded ! Mau pilih pengganti yang tua atau yang muda, silahkan saja.
Asalkan memenuhi kriteria seperti uraian di atas. Mau pilih yang muda lagi, silahkan saja. Asal jangan yang hanya sukses di bidang usaha pribadinya, tapi ternyata zero penguasaan dan penghayatan terhadap kerja pada institusi pemerintahan yang dipimpinnya!
Tercatat sejumlah menteri yang justru malah menjadi beban (liability) bagi bangsa dan negara.
Prestasi mereka yang malah sangat menonjol adalah membuat citra presiden yang positif, menjadi negatif dan sangat menurun.
Karena telah memilih para pembantunya yang ternyata adalah individu yang salah, di tempat yang salah, dan pada waktu yang salah pula! Sehingga memicu ramainya celetukan masyarakat yang mengerucut pada kesimpulan;.jangan-jangan kita salah pilih Presiden?!
Nah, sebelum situasi meresahkan ini berkembang lebih buruk, secepatnya melakukan reshuffle bisa menjadi solusi antara yang strategis ! Tentunya dengan catatan: Jangan salah pilih lagi ! Ya menterinya, ya Wamen nya, ya para Staffsusnya ! Agar kerja keras Presiden kembali mendapat acungan jempol yang layak!
Target utamanya, rakyat dapat kembali hidup normal karena makanan tersedia cukup, dan mereka dapat kembali bernafas lega dalam kebahagian menikmati hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara!
Karena negara dipimpin dan dikelola oleh Presiden dan para pembantunya yang tepat. Semoga..! (Watyutink.com )