MEDAN (Berita): Pada Desember 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan POJK 57 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi atau Securities Crowdfunding (SCF).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen dalam siaran persnya diterima Kamis (4/2/2021) mengatakan SCF ini hadir sebagai alternatif bagi pelaku usaha pemula (start-up company) dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam mencari pendanaan bagi usahanya.
Kebijakan ini merupakan upaya OJK dalam mendorong pelaku UKM yang selama ini masih mengandalkan permodalan dari perbankan untuk mulai mengakses dana publik sebagai sumber permodalan.”Salah satunya melalui SCF,” katanya.
Hoesen mengatakan SCF berbeda dengan fintech peer to peer lending. Di SCF, investor bertindak sebagai pemodal yang keuntungannya berasal dari dividen (jika berjenis saham), misbah (jika berjenis obligasi/sukuk), penjualan efek sekunder dan keuntungan lainnya.
Sementara dalam fintech lending biasanya berasal dari bunga yang bersifat tetap. Dalam SCF ini ada tiga pihak yang terlibat yakni penyelenggara yang memiliki izin dari OJK, penerbit selaku pemilik usaha dan pemodal.
Hoesen menyebut SCF memiliki jangka waktu penawaran selama satu tahun dengan satu atau beberapa kali penawaran. Efek yang ditawarkan bersifat ekuitas, efek bersifat utang dan sukuk. Nilai penawaran maksimal Rp10 miliar.
“Untuk menciptakan iklim layanan urun dana yang sehat dengan merumuskan code of conduct dan melakukan pengawasan terhadap anggotanya,” jelas Hoesen.
OJK juga telah menetapkan Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) sebagai asosiasi yang menjaga ekosistem industri layanan tersebut. (wie)