Fikri Minta Kontribusi Perpusnas, Prihatin Distorsi Sejarah Islam di Nusantara

  • Bagikan
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih

MEDAN (Berita) : Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas RI) berkontribusi menghadirkan literatur sejarah yang otentik untuk meluruskan kesimpangsiuran informasi yang tengah marak sehingga dapat menjadi referensi sejarah yang akurat dan valid.

“Kami khawatir adanya distorsi sejarah islam di nusantara yang sengaja dibelokkan, menimbulkan narasi dan perdebatan yang tidak jelas dan melukai umat Islam,” kata Fikri, Sabtu (5/6).

Terlebih, baru-baru ini ditemukan bahan materi ajar pada buku Sejarah Kebudayaan Islam untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelas VI yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus sebagai imam Syiah ke-enam.

“Tentu saja klaim ini salah, karena tidak ada referensi Sunan Kudus dan pendakwah wali songo lainnya berpaham syiah,” ujar Fikri.

Klaim tersebut timbul dikaitkan dengan adanya narasi tentang sosok Muhajir (Ahmad bin al-Muhajir), seorang ulama yang lahir di Palestina dan sebagai nasab pendahulu para wali songo di tanah Jawa adalah penganut Syiah.

“Klaim ini telah dibantah di banyak referensi kitab terkenal, seperti kitab Nasim Hajir, kitab samum naji, dan kitab Jana Samarikh min Jawab Asilah fi at-Tarikh yang mengungkap sosok Muhajir,” ungkap politisi PKS ini.

Namun, sayangnya mungkin referensi-referensi penting dan otentik semacam ini tidak mudah dijumpai publik. Padahal itu menjadi tugas pokok Perpusnas. Sesuai dengan UU Nomor 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan yang mengamanatkan pemerintah dalam hal tersebut.

Fikri pun mengutip pasal 36 butir g dalam UU no. 3/ 2017, yang berbunyi: “pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi penerbitan buku langka dan naskah kuno yang bernilai sejarah serta mempunyai nilai penting bagi bangsa dan negara”.

Dia juga menegaskan agar Perpusnas RI dapat tampil untuk mengisi kekosongan referensi-referensi sejarah islam di nusantara.

“Perpusnas RI, kata dia, semestinya bisa bekerjasama dengan pesantren, untuk membuat referensi mengenai sejarah awal mula syiar islam di nusantara, kiprah pesantren, tulisan para kiai, bagaimana kontribusi mereka terhadap keilmuan, dalam melawan penjajah, soal nasionalisme, dan dalam pembentukan negara ini,” usul Fikri.

Pentingnya referensi sejarah islam yang otentik di Indonesia, menurut Fikri harus diwujudkan agar tidak melului informasi salah yang disuguhkan kepada publik.

“Misalnya soal kasus hilangnya sosok pahlawan nasional yang juga pendiri Nahdatul Ulama, K.H. Hayim Asyari dalam kamus sejarah yang diterbitkan Kemendikbud RI,” papar Fikri.

Lebih jauh, Fikri berharap referensi tersebut nantinya bisa menjadi handbook atau ensiklopedia yang bisa diakses secara luas.

.“Jangan sampai kita kalah dengan negara lain, seperti Afrika Selatan misalnya. Di sana ada literatur yang lengkap mengenai Syekh Yusuf, putera asli Makassar yang dihormati dan penyebar Islam utama di bagian selatan Afrika itu,” imbuhnya.

Ia percaya, jika digarap dengan baik, referensi-referensi tersebut kelak dapat menjadi rujukan yang terpercaya dalam diskusi-diskusi sejarah.

“Saat ini,lanjut Fikri, informasi banyak dimana-mana tetapi banyak juga yang hoax. Perpusnas sangat penting posisinya dalam menjadikan masyarakat well educated, tidak hanya well informed,” pungkasnya. (lin)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *