Di Amerika Beban Perempuan Makin Berat Era Pandemi Covid-19

  • Bagikan
Berita Sore/ist Atase Bidang Kebudayaan Kedubes AS di Jakarta Emily Yasmin Norris (bawah) dan atas, Wakil Konsul AS untuk Sumatera Jessica Chesbro (tiga kanan) pada diskusi virtual yang juga offline di Kantor Konsulat AS, Gedung Uniland Plaza Medan Senin (11/4).
Berita Sore/ist Atase Bidang Kebudayaan Kedubes AS di Jakarta Emily Yasmin Norris (bawah) dan atas, Wakil Konsul AS untuk Sumatera Jessica Chesbro (tiga kanan) pada diskusi virtual yang juga offline di Kantor Konsulat AS, Gedung Uniland Plaza Medan Senin (11/4).

 

MEDAN (Berita): Ternyata pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan, pendidikan dan ekonomi saja, melainkan beban berat itu juga menimpa kaum perempuan.
Atas Bidang kebudayaan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes) Amerika Serikat (AS) di Jakarta Emily Yasmin Norris mengungkapkan hal itu pada acara “Ngabuburit” tentang Women Empowerment in Civil Siciety atau Pemberdayaan Perempuan di Masyarakat secara virtual Senin (11/4).
Wakil Konsul AS untuk Sumatera
Jessica Chesbro juga hadir secara virtual dan offline yang diikuti tujuh perempuan dari berbagai profesi seperti wartawan, NGO, Ketua BKOW Sumut dan sejumlah tokoh lainnya,l serta staf Konsulat Rachma Jaurinata di Kantor Konsulat Jenderal AS untuk Sumatera, Gedung Uniland Plaza Jalan MT Haryono Medan.
“Kita semua tahu bahwa ketidaksetaraan gender semakin terlihat selama pandemi Covid-19,” kata Emily.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 mengakibatkan kemajuan menuju kesetaraan gender terhenti di beberapa sektor ekonomi dan industri besar. Contohnya sebagian perempuan lebih sering bekerja di sektor-sektor yang paling terpukul akibat lockdown. Hal ini ditambah lagi dengan penutupan sekolah sehingga anak-anak yang biasanya banyak dihabiskan waktunya di sekolah, tapi ini berkumpul di rumah, belajar secara daring.
“Kondisi ini membuat beban perempuan makin bertambah dan berat. Kita melihat di seluruh dunia bahwa perempuanlah yang lebih banyak mengasuh anak, sehingga yang terjadi di masa pandemi adalah seorang ibu harus mengurus anak yang harusnya sekolah, tetapi ada di rumah,” ungkapnya.
Sehingga banyak perempuan meninggalkan pekerjaan atau tidak bisa bekerja dari rumah seefektif rekan-rekan pria mereka. “Ini menimbulkan tekanan bahwa wanita harus melakukan segalanya,” kata Emily.
Menurutnya, solusinya perlu pemahaman kaum pria atau suami agar dapat membantu anak, istrinya. Suami harus membantu isteri dan anak-anaknya sehingga beban itu tidak hanya dipikul kaum perempuan saja.
“Kita melihat di seluruh dunia bahwa perempuanlah yang lebih banyak mengasuh anak, sehingga yang terjadi di masa pandemi adalah seorang ibu harus mengurus anak yang harusnya sekolah, tetapi ada di rumah,” ungkapnya.
Sehingga banyak perempuan meninggalkan pekerjaan atau tidak bisa bekerja dari rumah seefektif rekan-rekan pria mereka. Ini menimbulkan tekanan bahwa wanita harus melakukan segalanya.
Menurutnya, kesetaraan gender di
Amerika Serikat dan Indonesia memiliki tantangan yang sama. Sebagai dua negara demokrasi terbesar di dunia, Amerika Serikat dan Indonesia harus memastikan agar setiap warga negara terpenuhi hak-haknya, termasuk di dalamnya akses yang setara bagi setiap golongan untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, terlibat di dalam perekonomian,
hingga keterwakilan mereka di dalam politik.
Kecenderungan buruk lainnya adalah peningkatan kekerasan terhadap perempuan di rumah/pelecehan dalam rumah tangga. Ini terjadi di seluruh dunia. Karena lebih banyak orang terjebak di rumah dan menjadi stres, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak meningkat.
Juga lebih sulit bagi mereka untuk mengakses bantuan polisi atau layanan sosial untuk membantu mereka melarikan diri dari kekerasan/pelecehan. Ini adalah pelajaran penting bahwa kita perlu memastikan perempuan masih memiliki akses ke sumber daya untuk menjaga perempuan dan anak-anak agar tetap aman, bahkan jika sedang terjadi pandemi yang lebih besar.
“Tidak dapat disangkal bahwa isu kesetaraan gender masih menjadi polemik di banyak negara, bahkan di Amerika Serikat. Amerika Serikat juga memiliki sejarah panjang tentang perempuan yang terpinggirkan, dan butuh waktu lama untuk sampai ke ke posisi kami hari ini yang disebut demokrasi,” ujar Emily.
Dia menyebut perjuangan perempuan di Amerika dimulai dengan hadirnya perempuan-perempuan patriotik yang saling menguatkan. Meskipun Amerika didirikan di atas prinsip kesetaraan untuk semua warga negara, hal ini tidak sepenuhnya disadari oleh banyak orang dan butuh bertahun-tahun perjuangan untuk mencapai tempat kita sekarang ini.
Wanita di AS pada awalnya tidak dapat memiliki properti, memilih, atau melakukan banyak aktivitas yang sama dengan pria. Istri-istri tidak dapat memiliki properti mereka sendiri, tidak bisa mempertahankan upah mereka sendiri, atau bahkan membuat kontrak. Butuh bertahun-tahun upaya hukum dan sipil dan perempuan akhirnya dapat memilih pada tahun 1919. Ini menunjukkan bahwa ketika fondasi ada di dalam hukum, dimana masyarakat sipil dapat menggunakannya untuk mengembangkan kesempatan dan hak hukum yang sama bagi kedua jenis kelamin.
Sejarahnya, gerakan perempuan di Amerika Serikat diawali oleh sekelompok perempuan berjiwa patriotik yang bersepakat untuk bertemu dalam acara minum teh. Mereka berbicara tentang pentingnya menciptakan gerakan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kelompok kecil ini kemudian membuat konvensi kecil yang disebut “Konvensi untuk Membahas Kondisi Sosial, Sipil, dan Agama serta Hak-hak Perempuan”, yang diadakan di Wesleyan Chapel di Seneca Falls pada tanggal 19 dan 20 Juli 1848.
Saat ini banyak kemajuan di Amerika, seperti munculnya tokoh-tokoh perempuan kuat di Amerika Serikat seperti Ruth Bader Ginsburg, yang lahir pada tahun 1933, dan kemudian menjadi hakim wanita kedua di Mahkamah Agung AS ketika waktu itu hanya ada 4 persen hakim wanita di Mahkamah Agung AS. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa lebih banyak perempuan dibutuhkan di Mahkamah Agung di Amerika.
“Sekarang, di AS, Kami mendukung kesetaraan gender dengan memastikan bahwa undang-undang kami memperlakukan semua warga negara dengan setara, tanpa memandang gender,” tegasnya.
Ini berarti akses yang sama ke pendidikan, hak pilih, dukungan sosial, perawatan medis, dan pekerjaan. Sayangnya ketimpangan masih ada, jadi kami juga bekerja untuk menyeimbangkannya saat dibutuhkan.
Presiden Joe Biden juga sangat menekankan keragaman dalam pemerintahannya. Daftar kabinet Biden mencakup cukup banyak wanita dan juga orang kulit berwarna. Porsi perempuan tercatat sebesar 33 persen, melampaui era Obama yang mencakup 27 persen.
“Namun yang terpenting bukanlah mereka ada karena mereka perempuan, tetapi mereka ada karena mereka berkualitas. Sampai sekarang gerakan perempuan, tidak hanya di Indonesia, tetapi secara global,” tegasnya.
Wakil Konsul Jenderal Amerika Serikat untuk Sumatera Jessica Chesbro mengatakan Ngabuburit diisi dengan diskusi tentang perempuan ini cukup membuka mata kaum perempuan.
“Setelah dua tahun tidak bertatap muka, saya juga sangat senang, meskipun kita masih harus menerapkan protokol kesehatan, dapat bertemu dengan beberapa dari anda di sini di Kantor Konsulat Amerika Serikat di Medan,” ungkap Jessica yang mulai menjabat sejak Desember 2021.
Jessica sebelumnya bekerja di Fiji, Vietnam, dan Republik Demokratik Kongo. Beliau pernah belajar di luar negeri di Belanda dan Prancis dan juga menjadi sukarelawan Peace Corps di Filipina. (wie)

 

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *