KEMARIN, 17 Agustus 2022, adalah hari ulang tahun ke-77 Republik Indonesia yang tidak diragukan lagi merupakan titik balik dalam sejarah bangsa di wilayah kepulauan yang dulu disebut Nusantara.
Banyak aktor-aktor penting dari berbagai lapisan masyarakat yang mengorbankan hidup mereka dan berkontribusi melalui profesi dan pengaruh mereka sendiri untuk tujuan kemerdekaan.
Sebagian orang berkontribusi dengan berjuang secara fisik di lapangan, tapi ada sebagian lainnya berjuang dengan kualitas intelektual mereka melalui penyebaran ide melalui tulisan dan pidato.
Almarhum Mohammad Said adalah salah satu figur contoh yang patut diperingati karena keunikan kontribusinya dalam perjuangan mencapai kemerdekaan baik sebagai jurnalis maupun intelektual.
Dalam artikel singkat ini, saya ingin mengemukakan pentingnya seorang Mohammad Said dalam momentum peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang bertepatan pula dengan hari jadinya yang ke-117, sejak dia dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1905 di Labuhanbilik, Panai Tengah, Kab. Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Tidak diragukan lagi bahwa kisah hidupnya perlu menjadi subjek penyelidikan akademisi secara lebih mendalam. Tetapi niat saya bukan untuk membahasnya dalam makalah yang sangat singkat ini.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyoroti beberapa aspek termasuk bagaimana saya menemukan nama Mohammad Said.
Bagi para pengkaji kemerdekaan Indonesia, secara historis Mohammad Said dikenal sebagai sosok yang tidak memprioritaskan perjuangan secara fisik di medan tempur, melainkan lebih memilih berekspresi dalam praktik jurnalisme patriotik.
Karya jurnalismenya perlu dipertimbangkan sebagai bentuk perjuangan mencapai kemerdekan dari rezim kolonial, yang bertujuan mengembangkan kesadaran anti-penjajahan dan para sekutunya, mengingat dia dilahirkan dalam ekosistem kolonial pada awal abad ke 20.
Hal ini barangkali diperani oleh kerapuhan lingkungan sosial-ekonomi dan sosial-politik secara umum dan pada segmen lebih besar dari masyarakat Sumatera Utara.
Oleh karenanya Mohammad Said menggunakan jurnalisme sebagai kendaraan untuk mengemudi kebijakan pro-rakyatnya. Dia menonjolkan persoalan keadilan yang absen dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial selama puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Lewat karyanya yang mengangkat kesengsaraan para kuli kekaisaran Belanda misalnya, kritik soal keadilan itu terlihat begitu jelas.
Mohammad Said tidak memprioritaskan terjun ke medan tempur tapi lebih memilih mengkritik secara akal pikiran sebagai senjatanya yang terus meningkat tajam pada tahun 1930-1940-an.
Karya lainnya yang membuktikan pendirian patriotik intelektualnya itu juga tercermin dalam buku-bukunya seperti Deli Dahulu dan Sekarang, Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Perobahan Pemerintahan (Bestuurshervorming), Aceh Sepanjang Abad, dan kiprah-kiprahya dalam koran-koran terawal pada masanya seperti Penjedar atau Oetoesan Sumatra. Mohammad Said bagaikan mengajak pembaca untuk ‘menemukan kembali identitas hak masa lalu yang hilang’.
Menemukan Aceh Karena Mohammad Said
Saya bertemu dengan nama almarhum Mohammad Said pertama kali di Aceh pada September 2005. Ini adalah tahun terpenting saya di Aceh mengingat imbas tsunami yang masih begitu terlihat. Saya adalah salah seorang pekerja sosial sekaligus peneliti.
Di antara kesibukan lapangan dalam kegiatan bantuan kemanusiaan bagi korban tsunami, saya sering menyempatkan waktu untuk mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Banda Aceh untuk memahami Aceh dan mengukuhkan pengetahuan saya tentang hubungan Turki dan Aceh.
Antara lain Universitas Syiah Kuala, Perpustakaan IAIN Ar-Raniri (sekarang UIN Ar-Raniry) Pascasarjana, dan Perpustakaan serta Museum Pribadi Ali Hasjmy yang memiliki koleksi yang menonjol.
Bilangan perpustakaan yang ada begitu terbatas, karena bangunan perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Inventarisasi Aceh (PDIA) di Blang Padang dan direktorat kebudayaan negeri di Kampung Mulia, dekat Peunayong rusak berat akibat tsunami.
Oleh sebab itu, tidak mungkin bagi saya untuk menemukan kajian-kajian mengenai hubungan Turki dan Aceh. Sebaliknya, pencarian saya menembus berbagai karya bertajuk sejarah Aceh secara umum. Begitu juga saya
Menyadari bahwa jumlah karya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dalam konteks ini hanya beberapa saja, maka saya harus kecewa.
Namun kekecewaan saya berkurang setelah menemukan karya almarhum Mohammad Said yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (1961).
Buku ini memiliki dua jilid dengan jumlah halaman melebihi seribu. Saya ingat begitu senang membacanya karena uraian dalam Aceh Sepanjang Abad ikut menyoroti hubungan Turki-Aceh.
Sebagai kecenderungan alami minat saya pada topik ini dan demi menghemat waktu dalam memahami dua jilid karya ini, saya memfokus pada bagian hubungan Turki-Uthmaniyyah.
Dengan mempunyai sedikit pengetahuan secara umum membuat saya mengerti narasi dari sudut pandang Indonesia. Walaupun begitu, saya perlu menerjemahkan beberapa bagian buku ke dalam bahasa Inggris, dan bantuan pelajar yang membantu saya pada masa itu masih begitu berharga.
Bagian awal yang paling mencolok adalah bahwa karya Mohammad Said memuat informasi yang sangat mendalam dan detail tentang sejarah Aceh.
Di atas itu, menimbang prinsip ilmiah dari metodologi Barat yang digunakan bahwa hampir setiap detail didukung dengan rujukan jelas menyebabkan saya membacanya secara komprehensif.
Saya luangkan upaya untuk menguji kembali narasi perkembangan zaman itu dengan balik mengakses karya-karya berbahasa Inggris, Indonesia/Malayu dan Turki.
Dengan begitu, saya mulai bisa menyusun aspek-aspek penting dari karya Mohammad Said yang hingga kini masih terbuka untuk pengkajian lebih lanjut.
Selain Mohammad Said, ada juga sejumlah intelektual Aceh yang berkaliber seperti Abu Bakar (Aceh), Yunus Djamil, Ali Hasjmy, Teuku Ali Basyha Talsya dll.
Meskipun terdapat ‘masalah metodologi’ yang serupa dalam kajian nama-nama itu di mata kriteria akademisi Barat, yaitu kedalaman dan aspek rinci dari studi yang diajukan, terus terang menyebabkan saya mengkritik masalah metodologi ini sendiri.
Perkara yang saya maksudkan di sini bukanlah soal bahwa karya yang ditulis oleh penulis lokal tidak menyentuh subjek dalam konteks ‘mitologi’, yang bertentangan dengan apa yang dipercayai, tetapi penghayatan yang digunakan terutama terkait tradisi budaya lisan yang jelas tidak bisa diabaikan.
Ketika seseorang mengunjungi halaman-halaman awal dari buku yang disebutkan di atas, dia tentu saja akan menyaksikan apa yang ditekankan oleh Mohammad Said berkaitan dengan informasi secara rinci dan penting baginya untuk mengumpulkan data relevan lainnya tentang sejarah masa lalu wilayah tersebut. Dengan mindset ini, saya menelusuri isi dan indeks untuk menemukan beberapa kata kunci yang relevan.
Dalam hal ini, misalnya bagian bukunya yang membahas tentang berdirinya kesultanan baru di ujung utara pulau Sumatera tampaknya cukup relevan.
Setelah pada awalnya tinggal di Banda Aceh, saya melanjutkan kegiatan penelitian saya yang berhubungan dengan daerah sekitarnya di tahun-tahun berikut dan saya semakin sering menemukan karya-karya lain Mohammad Said.
Pada saat yang sama, rasa ingin tahu saya tentang identitas individu, latar belakang intelektual dan karya-karyanya pun tumbuh lebih besar.
Saya pikir, ini adalah waktu yang cukup penting untuk melakukan penelitian lengkap demi mendapatkan pengakuan tentang kehidupan intelektualnya.
Melalui kesempatan ini saya berharap karya-karyanya diakui sebagai ujung tombak kemajuan masyarakat Indonesia dan semoga perjuangan pena dan pikirannya mendapat anugerah balasan yang setimpal dari Allah SWT.
**** Penulis : DR Mehmet Ozay, ekonom dan peneliti, pernah bertugas di Jakarta dan beberapa tempat lain. Kini di Ibn Haldun University, Istanbul, Turki. Dia dapat dihubungi di International Institute of Islamic Thought and Civilization, International Islamic University Malaysia, melalui e-mail: [email protected] ; Orcid No: 0000-0002-2719-1543; http://www.researcherid.com/rid/S-5739-2017 .****