JAKARTA (Berita): Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap agar wakil presiden (wapres) yang terpilih pada pemilihan presiden (Pilpers) 2024 akan datang difungsikan dan tidak lagi seperti sekarang hanya ‘diparkir’ dan dijadikan ‘ban serep’ aja.
Apa lagi posisi wapres yang akan datang, kiprahnya sangat dinantikan bersama presiden terpilih untuk mengakhiri kompleksitasnya krisis global secara nasional.
” Pilpres 2024 kira-kira biaya pemilihannya mencapai Rp 100 triliun. Begitu terpilih, selama lima tahun, kita gaji dengan besar.
Kita kasih istana dan pengawalan VIP. Itu semua sangat mahal, dan membebani anggaran negara setiap tahun.
Tetapi posisi wakil presiden nyaris tidak ada fungsinya atau difungsikan,” kata Fahri Hamzah dalam Gelora Talk ‘Meneropong Pengaruh Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024, Rabu (17/5/2023) di Jakarta..
Partai Gelora, ujar Fahri Hamzah, pada Pemilu 2024 diharapkan dapat menghadirkan kepemimpinan yang baik untuk menyelesaikan krisis dimana wapres yang dipilih nanti tidak sekedar dijadikan alat untuk memperkuat elektablitas dan popularitas calon presidennya saja.Tetapi, begitu terpilih posisi wapres juga harus difungsikan.
“Para intelektual sekarang semua terganggu dengan kondisi saat ini, apa boleh buat.
Kalau bahasanya bang Miing (Dedi Miing Gumelar) dia ditaruh hanya untuk diparkir, di suruh berlayar untuk tidak di lihat kembali.
Itu yang kita sayangkan, tapi mudah-mudahan kita bisa berharap lebih di pemilu kali ini,” harapnya.
Dalam Gelora Talk yang dimoderatori Wakil Sekretaris Jenderal bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora ini, Fahri Hamzah dengan tegas menyatakan, bahwa sejak awal terpilihnya pasangan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin diharapkan dapat membawa agenda rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik politik dan pembelahan di masyarakat yang terjadi selama dua pemilu, yakni 2014 dan Pemilu 2019.
“Tapi sayangnya itu tidak difungsikan, Pak Ma’ruf lebih difungsikan Jokowi agar tidak ada konflik dengan wakilnya.
Padahal Pak Ma’ruf itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, seorang kiayi besar yang bisa difungsikan untuk meletakkan dasar-dasar moderasi keberagamaan secara riil,” ujarnya.
“Beliau juga sebagai ketua dewan wakaf, yang seharusnya menjadi champions pengembangan ekonomi syariah, yang bisa difungsikan untuk masifnya pertumbuhan ekonomi kelas bawah dan menengah yang membutuhkan bantuan permodalan,” imbuh Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini.
Fahri Hamzah menilai sulitnya mencari figur calon wakil presiden yang kuat, adalah bagian dari krisis kepemimpinan selama ini.
Dalam menghadapi krisis saat ini, menurutnya diperlukan sosok wapres seperti Muhammad Hatta (Bung Hatta).
“Pada awalnya Bung Hatta diletakkan secara simbolik, tetapi kehadirannya disamping Bung Karno (Soekarno) telah membawa inspirasi kepada kita.
Bung Hatta itu, seorang intelektual besar, ilmuwan, paham tentang negara dan juga seorang ekonom yang telah meletakkan fondasi bagi perekonomian nasional.
Itu bentuk fungsi representasi simbolis yang luar biasa dari seorang wakil presiden,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, posisi wapres dalam sistem presidensil memang menjadi rebutan, karena memiliki peran strategis dalam pemerintahan.
“Di Pemilu 2024 ini, rebutannya memang luar biasa, meski fungsinya biasa-biasa saja. Tetapi posisi wapres itu strategis secara pemerintahan,” kata Hanta Yuda.
Dalam sistem presidensil, lanjut Hanta, baik presiden maupun wapres, merupakan institusi tunggal dengan nama lembaganya, Lembaga Kepresiden.
“Tetapi dalam fungsi sistem ketatanegaraan, wapres itu ban serep sebagai pengganti presiden ketika presiden berhalangan dalam kondisi tertentu.
Namanya ban serep, seperti kendaraan saja akan difungsikan kalau ban kita bermasalah”, ujarnya.
Fungsi selanjutnya, adalah mewakili presiden dan menjalankan tugas kepresidenan, serta membantu tugas presiden yang didelegasikan dalam beberapa bidang atau tugas.
“Kita bisa ambil contoh peran tugas wapres di masa Presiden Soekarno yang merupakan Dwi Tunggal dengan Bung Hatta.
Atau wapres era Pak Harto (Soeharto), Gus Dus (KH Abdurrahman Wahid), Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Pak Jokowi (Jokowi). Semua ada perbedaannya,” ujar Hanta.
Dalam situasi saat ini, lanjutnya, akan dicari wapres yang akan saling melengkapi, sepertii memiliki pengalaman politik dan leadership, atau seorang teknokrat, serta menentukan dalam elektoral dan elektabilitas.
“Tapi sehebat apapun komposisinya, kalau tidak memenangkan elektoral tidak ada gunanya.
Sebab, Pilpres sekarang tidak ada incombent, semua elektabilitas capres marginnya sangat tipis, tidak ada yang menyakinkan diatas 60 persen,” paparnya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, tentu saja membuka peluang adanya calon wapres yang dibutuhkan, bukan calon wapres yang diinginkan, karena basisnya pada periode pertama ini adalah elektabilitas dan logistik.
“Zamannya Pak SBY dan Pak Jokowi bisa menjadi contoh, yang menjadikan pak JK (Jusuf Kalla) sebagai cawapresnya di periode pertama, itu cawapres yang dibutuhkan.
Tetapi kalau cawapres yang diinginkan, bisa dilihat di periode kedua, ada Pak Boediono di zamannya Pak SBY dan KH Ma’ruf Amin di masa Pak Jokowi,” katanya.
Karena itu, pada saat ini para king maker atau ketua umum partai politik sangat menentukan dalam penentuan cawapres. Sementara capr sendiri tidak bisa menentukan, karena tidak memiliki tiket pilpres.
“Di periode pertama ini, cawapres yang dibutuhkan lebih penting daripada yang diinginkan.
Cawapres juga harus memiliki aceptabilitas yang tinggi kepada ketua umum partai. Kalau tingkat kesukaan Ibu Mega rendah, jangan mimpi bisa jadi cawapresnya PDIP.
Faktor tingkat kesukaan king maker ini, sangat menentukan dibandingkan kesukaan capres terhadap cawapresnya,” pungkasnya. (aya)