BELAWAN (Berita): Ribuan buruh yang bekerja di kapal-kapal pukat trawl penangkap ikan di Gabion Belawan kondisi kehidupannya tidak terpantau oleh pemerintah, baik itu Kementerian Perikanan dan Kelautan atau Dinas Perikanan Sumut.
Bahkan, di tengah-tengah pandemi virus corona (Covid-19), kondisi mereka semakin merana dan terabaikan.
Meski sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun bekerja di kapal-kapal penangkap ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB) Gabion Belawan, mereka tak pernah mendapatkan hak jaminan hidup yang layak, gaji harian yang minim dan tanpa adanya asuransi serta tanpa jaminan kesehatan di hari tua. Ironis memang.
Salah seorang buruh nelayan, S Nasution ,40, kepada Berita Sore, Sabtu (16/5) di Pelabuhan Belawan menyebutkan, selama bertahun-tahun bekerja di kapal penangkap ikan, gaji yang diterima setiap harinya Rp.50.000 dan tidak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan tanpa dapat jaminan asuransi kesehatan atau asuransi ketenagakerjaan. Bahkan, yang dapat klaim asuransi cuma nakhoda kapal saja.
“Gaji per hari cuma Rp 50.000 dan tak bisa mendapatkan asurani kesehatan atau pun asuransi ketenagakerjaan,” tutur Nasution.
Dijelaskan Nasution, pihak pemilik kapal berdalih ketidakikutsertaan para buruh nelayah kapal penangkap ikan dalam program asuransi dari BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan disebabkan mereka bekerja di kapal 30 GT sedangkan yang bisa mendapatkan asuransi tersebut adalah buruh nelayan yang bekerja di kapal 10 GT ke bawah sesuai aturan yang ditetapkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta UU Perlindungan Nelayan No 7 tahun 2016.
Nasution berharap agar pemerintah bisa memperhatikan kondisi ribuan buruh nelayan yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan di Gabion Belawan.
“Buruh nelayan yang bekerja banting tulang dan memeras keringat di tengah laut namun pengusaha kapal yang bersenang-senang di atas penderitaan buruh,” keluh Nasution.
Memperhatikan Kehidupan Buruh Nelayan
Sementara itu, Ketua Aliansi Nelayan Kecil Modern Indonesia (ANKM-I) Sumut Rahman Gafiqi menyebutkan sudah saatnya pemerintah memperhatikan kondisi kehidupan para buruh nelayan yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan, apalagi para buruh tersebut bekerja melawan ganasnya ombak dan hujan di lautan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan memenuhi kebutuha ikan bagi warga masyarakat.
“Gaji Rp.50.000 sangatlah tidak layak diterima oleh buruh nelayan. Sementara buruh pabrik bisa mendapatkan hak-hak jaminan hidup dan asuransi serta tunjangan hari tua,” sebut Rahman.
Dijelaskan Rahman, buruh nelayan merupakan pejuang penyuplai gizi di negeri ini, yang bekerja menangkap ikan seraya melawan ganasnya ombak di tengah laut serta hujan deras yang acap tidak bersahabat bagi nelayan demi memenuhi kebutuhan gizi rakyat.
“Seharusnya satuan kerja di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti PSDKP, PPSB Gabion Belawan dan Dinas Perikanan proaktif memperhatikan nasib buruh nelayan karena sudah puluhan tahun nasib para pejuang penyuplai gizi ini tidak diperhatikan oleh negara,” pinta Rahman yang juga aktivis pemerhati kehidupan para nelayan di Sumatera Utara.
Rahman juga menyesalkan para pemilik kapal atau pengusaha penangkapan ikan hanya mementingkan keuntungan pribadinya saja tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh nelayan.
“Sudah sewajarnya para pengusaha membetikan jaminan keselamatan, jaminan kesehatan serta jaminan hari tua bagi mereka para pekerja kapal penangkap ikan dan bukan hanya nakhoda saja yang nasibnya prioritas diperhatikan,” imbau Rahman.
Disebutkan Rahman, ada istilah di kalangan buruh pekerja kapal penangkap ikan di Gabion Belawan; Pok Amai-Amai Belalang Kupu-kupu, Tarik Pukat Ramai- ramai juragan Rumah Batu. Nelayan sering Ganti kulit Para Tokeh Ganti Mobil.
“Pameo seperti ini akan sirna di kalangan buruh pekerja kapal penangkap ikan bila hak-gak hidup dan jaminan kesehatan serta jaminan hari tua diperhatikan oleh juragan kapal yang notabene pengusaha bermata sipit itu,” jelas Rahman.(att)