MEDAN (Berita): Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Sumatera Utara Syaiful menegaskan perubahan iklim memberikan ancaman utama di berbagai sektor, baik ekonomi maupun pertanian khususnya di Sumatera Utara.
“Karena pertanian merupakan penopang utama bagi perekonomian,” tegas Syaiful.
Ia mengatakan itu pada Seminar Ekonomi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekonomi dan Pertanian Regional Sumatera Utara Kamis (1/8/2024).
Siaran pers dari Perwakilan Kementerian Keuangan Sumatera Utara Selasa (6/8/2024) menyebut seminar itu dengan narasumber
dari Local Expert Kemenkeu Sumatera Utara, Akademisi USU, dan Kepala UPTD Perlindungan Tanaman Pangan Hortikultura dan Pengawasan Mutu Keamanan Pangan Sumatera Utara. Peserta dari kalangan instansi terkait.
Narasumber dan peserta yang hadir memberikan pandangan mereka mengenai tantangan yang dihadapi serta langkah-langkah strategis yang perlu diambil untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Syaiful menyebut di sektor pertanian perubahan iklim dapat mempengaruhi pola tanam dan masa panen raya, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana, perubahan kesuburan tanah dan ketersediaan air, dan munculnya hama dan penyakit tanaman baru.
“Dampak tersebut mempengaruhi produktifitas pertanian dan ketahanan pangan, serta kesejahteraan petani yang menurun,” kata Syaiful.
“Tentunya kegagalan produktifitas pertanian akan meningkatkan harga pangan karena
ketersediaan pasokan juga mengalami penurunan yang akan menyebabkan terjadinya inflasi,” kata Syaiful lagi.
Menurut Syaiful, perubahan pola perdagangan baik regional maupun global karena pergeseran perubahan zona produksi pangan akan mempengaruhi keunggulan komparatif. Juga peningkatan biaya investasi khususnya untuk infrastruktur dan penelitian, dan potensi migrasi penduduk berupa urbanisasi karena kekurangan lahan pertanian yang produktif.
Dalam penutupnya Syaiful mengajak untuk menjadikan seminar ini sebagai langkah awal untuk mampu membangun masa depan ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan bagi generasi kita yang mendatang.
Herfita Rizki Hasanah Gurning, SE, MEc.Dev, selaku dosen tetap Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, memaparkan bahwa perubahan iklim diartikan sebagai perubahan kondisi fisik atmosfer bumi yang meliputi fluktuasi suhu dan distribusi
curah hujan.
Sejak abad ke-19, aktivitas manusia seperti industri, energi, transportasi, pertanian, dan penggunaan lahan telah mempercepat perubahan ini, menyebabkan dampak
serius seperti kekeringan, banjir, dan penurunan keanekaragaman hayati.
Jejak ekologis per kapita di Indonesia mencapai 1,7 hektar global (gha), melebihi biokapasitas per kapita sebesar 1,2 gha, menunjukkan konsumsi sumber daya yang tidak berkelanjutan. Analisis menunjukkan
korelasi negatif antara suhu dan curah hujan dengan pertumbuhan ekonomi, serta
kecenderungan rendahnya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di daerah dengan risiko bencana tinggi.
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk pendidikan lingkungan, insentif ekonomi hijau, dan pengembangan teknologi hijau, diusulkan untuk mengatasi tantangan ini dan mendukung transformasi ekonomi berkelanjutan.
Marino, SP, MM, Kepala UPTD Perlindungan Tanaman Pangan Hortikultura dan Pengawasan Mutu Keamanan Pangan Sumatera Utara, menyoroti dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian.
Data menunjukkan bahwa produktivitas padi menurun hingga 14,4 persen untuk setiap kenaikan suhu 1°C, akibat stres panas yang mengganggu proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman.
“Selain itu, perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan banjir, dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi,” kata Marino.
Tantangan lainnya yang dihadapi sektor pertanian termasuk laju pertumbuhan penduduk yang cepat, alih fungsi lahan,
serangan hama dan penyakit, serta infrastruktur pertanian yang tidak memadai.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah provinsi telah mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan infrastruktur irigasi, mengembangkan varietas tanaman tahan iklim, dan menyediakan dukungan finansial serta pelatihan bagi petani.
Dr Wahyu Ario Pratamo, MEc, Local Expert Kementerian Keuangan Wilayah Sumatera Utara, memaparkan bahwa perubahan iklim juga berdampak pada produktivitas
tenaga kerja dan kesehatan masyarakat.
” Wilayah dengan risiko bencana tinggi cenderung memiliki produktivitas yang lebih rendah dan angka harapan hidup yang lebih rendah,” ungkap Wahyu
Penyakit seperti malaria, diare, TB paru, pneumonia, dan demam berdarah dengue (DBD) dapat meningkat akibat perubahan iklim, menurunkan kualitas hidup dan produktivitas tenaga kerja.
Sumatera Utara memiliki potensi besar dalam sektor pertanian dengan luas lahan sawah
mencapai 330.441,8 hektar. Produksi beras tahun 2023 mencapai 3.986.465 ton,
menunjukkan surplus signifikan. Namun, untuk memastikan ketahanan pangan dan
meningkatkan kesejahteraan petani, perlu ada perhatian khusus terhadap dampak perubahan iklim yang dapat mengancam stabilitas sektor ini.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara diproyeksikan meningkat menjadi 5,20 persen – 5,40 persen pada tahun 2024 dan 5,50 persen – 5,60 persen pada tahun 2025. Untuk mendukung pertumbuhan ini, peningkatan daya saing ekonomi melalui perbaikan institusi, adopsi teknologi informasi, stabilitas makro, kesehatan, serta pasar produk dan tenaga kerja menjadi sangat penting.
Kementerian Keuangan berkomitmen untuk terus mendukung kebijakan yang dapat
mengurangi dampak perubahan iklim dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan di Sumatera Utara. (rel/wie)