Mengkritisi Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) setajam apa pun, pada hakekatnya tidak ada masalah.
Menjadi masalah ketika polemik seputar RUU HIP dijadikan sebagai pintu masuk untuk menggelar gerakan politik, oleh kelompok politik tertentu, untuk kepentingan politik tertentu pula.
Sebagai langkah awal, desain politik lebelisasi PDIP sebagai tempat pengembangan faham komunisme, digulirkan. Disusul dengan tuntutan bahwa PDIP layak dibubarkan karena dicitrakan sebagai partai yang berpotensi menghidupkan kembali faham komunisme.
PDIP adalah ‘PKI gaya baru’ pun disebar menjadi isu premier gerakan politik mereka.
Secara kebetulan, saya ikut mempersiapkan AD/ART saat PDI menjelma menjadi PDIP. Juga saat merumuskan garis-garis besar haluan perjuangan PDIP sebagai kendaraan politik perjuangan rakyat (wong cilik).
Atas lebelisasi PDIP pro komunisme dan bahkan neo PKI, membuat saya geleng-geleng kepala dan bertanya; di mana Komunisme-nya ? Maka jelas, upaya memainkan politik devide et impera dengan tujuan memecah belah rakyat ini, mengharap tergiringnya massa rakyat ke arena konflik horisontal yang sangat berbahaya.
Padahal kisruh RUU HIP ini bisa jadi timbulnya, hanya karena adanya kesoktahuan beberapa individu fungsionaris partai yang merasa ahli Pancasila, tapi melakukan blunder saat merumuskan pemahamannya terhadap Pancasila ke dalam bentuk Rencana Undang-Undang HIP.
Tidak ada kaitannya dengan upaya menghidupkan kembali PKI, mensekulerkan negara Indonesia, dan apalagi mengganti Pancasila dengan Ekasila, dsb.
Di sisi lain, bila ada oknum yang terindikasi atau diduga keras berafiliasi dengan faham terlarang; dan individu tersebut terlibat dalam proses penyusunan RUU HIP yang menghebohkan, silahkan persoalkan individu dimaksud.
Jangan kalau ada tikus di lumbung, untuk menangkap sang tikus lumbungnya yang dibakar ! Kita semua tentunya tau bahwa PDIP sebagai partai, bukan dimiliki oleh oknum dan orang perorang, tapi jutaan massa rakyat.
Dan sepengetahuan saya, mereka hampir semuanya anti komunisme 100% ! Secara institusi PDIP yang saya fahami dan saya kenal adalah kumpulan kaum nasionalis Bung Karno yang anti Komunisme !.
Jadi, siapa pun yang berkepentingan meng-komuniskan PDIP, perlu dicurigai sebagai agen dari kekuatan luar yang sengaja menebar politik devide et impera.
Tujuannya ya melemahkan kekuatan rakyat bangsa Indonesia. Agar Indonesia dapat mereka kuasai.
Bisa jadi bukan oleh mereka yang sekarang ribut, tapi oleh fihak ketiga yang justru tak muncul di lapangan konflik.
Untuk memprovokasi lebih jauh lagi, pembakaran bendera PDIP yang disandingkan dengan bendera PKI, dilakukan secara demonstratif.
Ketersediaan bendera Palu Arit PKI yang masih tampak baru, fresh from the Oven, membuat saya tersenyum.
Setiap akal waras pun akan menyimpulkan pasti lah ada fihak yang sengaja mempersiapkan dan merancang terjadinya peristiwa ini.
Ketika beberapa kawan bertanya kepada saya; siapa sebenarnya yang bermain api di belakang peristiwa ini ? Spontan saya jawab..,,wah maaf, itu domain Badan Intelejen Negara (BIN) dan Kepolisian RI untuk menjawabnya..’’
Karena apa yang terlihat secara kasat mata oleh mata publik, biasanya hanyalah bayangan atau shadow puppet dari sang dalang yang sesungguhnya memainkan semua ini.
Saya jadi teringat kembali suasana saat prakondisi terjadinya G30S PKI. Saat itu kelompok kiri (PKI) dan konco-konconya tampil bringas, ganas, dan menakutkan.
Pada akhirnya mereka tergiring dan terpancing melakukan gerakan politik ‘kudeta’.
Maka terciptalah sejarah G30S PKI. Mereka pun terjebak dan terperangkap. Tentara dibantu rakyat pun, menumpas golongan kiri (PKI) sampai ke akar-akarnya.
Selanjutnya, dengan sigap dan penuh kesiapan, tentara menguasai seluruh linie yang ada dalam bangunan politik di negeri ini. Berlanjut hingga tiga dekade lebih berkuasa
Ketika pemerintah Amerika membuka kotak pandora yang berisi dokumen sejarah G30S PKI, karena sudah melewati batas waktu kerahasiaan, terkuaklah dokumen bagaimana CIA mengambil peran sangat aktif (dalang) dalam upaya penumbangan Bung Karno dari kekuasaannya.
Sementara Suharto oleh banyak pengamat ditempatkan hanya sebagai pelaksana proyek politik Amerika dalam konteks perang dingin saat itu (kepentingan geopolitik).
Hembusan Poros Jakarta-Peking pun ampuh meluluh lantakan kekuasaan Bung Karno dan barisan pendukungnya yang dilebelisasi sebagai barisan pro komunis.
Kekuatan rakyat dipecah belah. Selanjutnya Amerika pun menjadi perancang tunggal bagaimana Indonesia seharusnya berdiri sebagai sebuah negara yang siap menjadi kompradornya kaum kapitalis.
Kekayaan negara dan kekayaan yang terpendam dalam perut bumi di seluruh Nusantara, di bawah kontrol mereka sepenuhnya.
Sebagian besar menjadi ‘bancakan’ kroni penguasa Orba dan para cukong yang sekarang dikenal dengan istilah konglomerat.
Dengan munculnya demo mirip-mirip desain masa lalu, saya jadi miris bila ternyata akan melahirkan pengulangan sejarah yang sangat buruk.
Hanya bedanya dulu ekstrim kiri yang dihabisi, kali ini ekstrim kanan yang dijadikan alat untuk masuk dalam wilayah ‘jebakan Batman’.
Walau tanda-tanda ke arah sana masih jauh dan samar, trauma masa lalu menggeret saya ke ruang imajinasi di mana gambaran kekalahan rakyat untuk ke sekian kalinya bakal terjadi.
Belajar dari sejarah, komponen masyarakat yang bisa dinyatakan sebagai bonggolnya kekuatan massa rakyat Indonesia adalah ketika massa kaum Banteng (Marhaen) Nasionalis, kaum Nahdliyin, dan massa rakyat pengikut Muhammadiyah, bersatu dan bergandeng tangan erat saling bahu membahu sebagai satu kesatuan rakyat.
Ketika dua kekuatan Nasionalis-Islam ini dihancurkan, hancur pula lah kekuatan rakyat Indonesia. Itu lah (politik devide et impera) yang digunakan kaum penjajah yang jeli, termasuk apa yang dilakukan semasa pra dan saat terjadinya G30S PKI.
Oleh karenanya, ketika saya mendampingi Mbak Mega, sebagai the leader of opositition terhadap rezim Orde Baru, beliau dan sejumlah sesepuh menugasi saya untuk merajut dan membangun barisan perlawanan.
Menjalankan tugas ini, sejarah kekuatan rakyat di masa pra hingga pasca Kemerdekaan berikut saat terjadinya peristiwa G30S PKI, saya jadikan referensi dasar dalam menyusun strategi perlawanan.
Maka muncul kesimpulan bahwa PDIP tidak bisa memenangkan apa-apa bila hanya berjalan sendiri.
Saya tawarkan agar kita (PDIP) merapat dan merangkul Gus Dur sebagai pemimpin barisan rakyat Nahdliyin. Maka pertemuan pertama antara mbak Mega dan Gus Dur pun terjadi untuk pertama kali di rumah mertua, Ilen Surianegara, Di Jl. Teuku Umar no.6. Terjadinya pertemuan ini atas bantuan Syaifulah Yusuf, keponakan Gus Dur.
Dalam perjalanannya terbangun kebutuhan agar PDIP membangun sinergi dengan pemimpin Muhammadiyah yang saat itu melembaga dalam diri mas Amin Rais.
Pertemuan pun terjadi di rumahku Jl, Deplu Raya no.9. Bintaro. Saat itu mas Amin didampingi mas Abdilah Toha dan mas Mudrik, tokoh PPP Solo.
Berlanjut dengan lahirnya gerakan Mega Bintang. Dengan pertemuan ini, maka gerakan perlawanan semakin terasa greget dan gigitannya terasakan secara lebih meluas.
Dengan bergabungnya tiga pilar kekuatan massa rakyat Indonesia ini, maka perlawanan terhadap rezim Orde Baru mulai mendapatkan bentuk dan kekuatan sejatinya rakyat Indonesia.
Dan sejak itu lah, gempuran terhadap bangunan rezim Orde Baru datang dari berbagai penjuru.
Karena massa rakyat dari golongan minoritas pun bergabung dalam satu kekuatan massa rakyat anti Orde Baru.
Alhasil, Orde Baru pun melemah dan krisis ekonomi 98 mengantar kejatuhan rezim Orde Baru.
Namun sayangnya, ketika rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan, ketiga pilar kekuatan rakyat; massa Marhaen-Nahdliyin-Muhammadiyah, kembali terpecah menjadi tiga bagian yang berjalan sendiri-sendiri.
Terjadinya terlalu cepat dan saat itu kita belum sempat membangun konsolidasi kekuatan nasional pasca Orde Baru.
Kekompakan dan kobaran semangat kebersamaan pun perlahan lenyap tersapu gelombang ego sektoral dan nafsu kekuasaan yang menggiurkan tapi sekaligus menjadi ‘jebakan Batman’ yang memilukan dan menyakitkan.
Sebagai akibat, kekalahan substansial sangat dirasakan oleh massa rakyat di tiga kelompok ini hingga sekarang.
Memaknai gencarnya manuver politik devide et impera belakangan ini, pertanyaan saya sangat sederhana; kapan kita akan bangkit dalam kesadaran untuk memilih jalan yang benar-benar dapat membawa bangsa ini hadir sebagai bangsa pemenang yang sejati dan sesungguhnya ?
Bukan sebuah kemenangan yang berada di garis maya , padahal realitanya tetap berada dalam kekalahan nyata di wilayah substansial kehidupan sebuah bangsa dan negara !
Seperti yang kita alami selama ini, sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga sekarang.
Kemenangan yang diimpikan itu baru akan kita alami dan rasakan ketika terjadi kebangkitan kesadaran untuk mengenali betul; siapa musuh dan siapa kawan sesungguhnya, secara substansial.
Sehingga tidak mudah diadu domba ! Massa di bawah panji dan bendera Islam (Nahdliyin-Muhammadiyah) dan massa Nasionalis BK, jangan pernah lagi diperhadapkan !
Tiga bersatu, rakyat pasti menang. Dan politik devide et impera pun, akan mati kehilangan ruang hidupnya ! (WATYUTINK.Com)