KUALASIMPANG (Berita) : Tim ekspedisi Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), tinjau titik nol pembangunan jalan tembus Kaloy – Lesten [Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang – Gayo Lues] di Alur Sesak koordinat kordinat N 04°10′ 15,24″. E 097°49′ 08,86′ dan N 04°10’15,43″. E 097°49’09,92″.
Titik nol jaringan jalur Pembukaan dan Peningkatan Jalan Tembus Kaloy ke Lesten kecamatan Pining Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gayo Lues Blang Kejeren hanya bisa ditembus dengan menggunakan mobil dobel gardan (4×4) dan hanya sampai Alur Kering saja, di samping badan jalan belum terbentuk juga jembatan belum ada.
Kecuali itu, titik nol jalan berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT. Mestika Prima Lestari Indah (MPLI). Dan pada kiri kanan jalan berbatas langsung dengan kebun masyarakat Kaloy.
Tim ekspedisi LembAHtari terdiri dari; Sayed Zainal, M. SH, Syawaluddin dan Fajar Al Hidayah menemukan dua patok besi yang cor semen. Terletak di kiri kanan ruas jalan Alur Sesak, tanpa tanda kordinat, dan identifikasi lembAHtari merupakan kawasan Hutan Produksi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menuju kawasan bukit Tiga Kilo ke wilayah perbatasan Lesten – Pining – Blang Kejeren yang juga bersebelahan juga dengan Kawasan Lindung.
Begitu disampaikan ketua tim ekspedisi LembAHtari pada peningkatan jalan tembus Kaloy – Lesten. Sayed Zainal, Sabtu (16/9) di Kualasimpang.
Sayed menyampaikan bahwa, setelah tim melewati Sungai Serba dan Alur Kol, menuju Bukit Batu ke Sungai Blutan. Didapat kalau ruas jalan tersebut, bukan jalan Koridor dulu masa Aceh Timur dan Aceh Tenggara [Tahun 1990 an] sebelum pemekaran beberapa kabupaten.
Melainkan jaringan jalan dibuka dan digunakan oleh Hak Penguasaan Hutan (HPH) PT. Tjipta Rimba Djaya (TRD) yang mengeksploitasi kayu log di wilayah hutan tersebut. Dan diangkut ke Sunting melalui Simpang Blok 8 Babo.
Lalu kayu log tersebut diangkut melalui jalur sungai Tamiang ke Kualapenaga. Kecamatan Bendahara, “HPH ini berakhir izin sampai bulan Mai 2020. Merekalah yang merambah dan membabat hutan di kawasan Hutan Melidi,” jelas Sayed.
#Isu Sentral
Melihat Perencanaan Peningkatan dan pembukaan jalan antar 2 Kabupaten dalam provinsi Pemerintah Aceh. Telah menjadi isu penting dan strategis dengan maksud membuka wilayah yang selama ini terisolir.
Meski harus melewati rona topografi wilayah yang curam dan terjal. Apalagi itu, wilayah jalan berada pada ketinggian 600 Meter Di atas Permukaan Laut (MDPL) dengan curah hujan yang tinggi.
Data LembAHtari menyebut bahwa, lokasi jaringan jalan ini bukan termasuk jaringan jalur Jalan Laut India Galo Alas Selat Malaka (LADIAGALASKA) yaitu terusan Meulaboh – Takengon – Blangkejeren – Peureulak, yang pernah direncanakan masa Pemerintahan Abdullah Puteh [Dulu bernama Jaringan Jalur Laba-laba] dan masa Irwandi menjadi jaringan Jalur LADIAGALASKA.
#Hindari Wilayah Terjal
LembAHtari, berpendapat bahwa rencana peningkatan jalan dan beberapa titik pembukaan jalur baru di atas Bukit 3 Kilo adalah untuk menghindari wilayah yang terjal dan curam.
Perencanaan harus matang, diharapkan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Aceh sebagai pemrakarsa harus mengkaji secara detail dan terbuka [transparan] terkait pembahasan Dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang kewenangannya ada di Provinsi.
“Harus ada Instansi Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab dan jelas-jelas tertuang dalam Dokumen Unit Kelola Lingkungan (UKL) dan Unit Pemantau Lingkungan (UPL) termasuk 2 Pemkab, Aceh Tamiang dan Gayo Lues, sebab Potensi-potensi Perambahan Hutan, alih fungsi Hutan serta Pembalakan liar sulit di bendung, apabila Pemerintah daerah lepas tangan,” ujarnya.
#Pembahasan AMDAL Harus Detail
Selain itu LembAHtari mengingatkan, agar Pembahasan AMDAL harus di Provinsi Aceh dan detail, tak kalah penting, mempertimbangkan Potensi-potensi bencananya, longsor di lokasi yang terjal, di mana derajat kemiringan dan curah hujan harus jelas Pengawasan saat konstruksi dan Paska konstruksi.
“Jangan hanya berpikir untuk meningkatkan perekonomian 2 wilayah, tetapi dampak, potensi bencana yang ditimbulkan tidak menjadi faktor penting dalam pembahasan,” Katanya mengingatkan.
Pungsi pengawasan pembangunannya harus jelas, saat proyek dikerjakan. Dicontohkan. “Lihat bagaimana waktu dikerjakan pada tahun 2020 lalu, di jalur alur Sirsak Titik Nol menuju bukit batu lebih kurang mencapai 6 kilometer, yang dikerjakan tanpa dokumen AMDAL terhenti, saat kami tinjau 15 September 2023, pada akhirnya jaringan jalan tersebut menjadi tempat jaringan jalur air, akibat tidak ada perencanaan yang matang,” jelasnya.
Data lain yang didapat LembAHtari bahwa, untuk menuju ke arah perbatasan Lesten, di atas Bukit Tiga Kilo menuju Mil Dua, adalah alur dan sungai yang dilalui di sekitar jaringan kiri kanan jalan, Sungai Serba, Alur Kol, Alur Sirsak, Sungai Blutan, Alur Selusin, Alur Jamur Atu, Alur Bukit Pepanji, Alur Bukit Batu dan Alur Dendang, lokasi tersebut berada di Wilayah Aceh Tamiang, belum Wilayah Lesten.
“Sungai dan Alurnya, bahkan dengan wilayah perbukitan yang curam atau tinggi, sebagai info penting, di beberapa titik wilayah Lesten merupakan wilayah Koridor Gajah dengan jumlah satwa banyak yang selalu muncul di perladangan masyarakat di Lesten,” Sebutnya.
LembAHtari mengingatkan, Pemerintah Aceh, khususnya Pemrakarsa Dinas PUPR Aceh dan pengguna dua Pemerintah Kabupaten, menurut Sayed, jika ingin serius pendanaan pembangunan tersebut harus dalam bentuk Multi Years dan ada Pos pengawasan yang permanen di Perbatasan antara Lesten dan Bukit 3 Kilo dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, BBTNGL dan aparat penegak hukum.
“Khususnya dari Tim GAGKKUM Pencegahan Perusakan Lingkungan Hidup dan hal semacam ini harus dituangkan dalam Dokumen AMDAL kaitan dengan UKL – UPL sehingga jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap Perusakan Hutan, alih Fungsi Hutan dan Pembalakan liar,” pungkasnya. (hen).