MEDAN (Berita) : Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi yang besar karena terletak di jalur yang strategis dalam perdagangan internasional.
Jalur perniagaan dihubungkan melalui Laut China Selatan kemudian Selat Malaka, kata Wahyu Ario Pratomo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara kemarin.
‘’Hingga kini, Selat Malaka menjadi salah satu jalur perdagangan internasional terpadat di dunia.
Setiap tahun, jumlah kapal yang melintas di Selat Malaka mencapai lebih dari 100.000 kapal dengan mengangkut lebih dari 90 juta container,’’ demikian Wahyu.
Berdasarkan data Lloyd’s List (2019), pelabuhan Singapura mampu melayani sekitar 37,2 juta kontainer, dan Malaysia dikisaran 22,6 juta kontainer.
Sedangkan Indonesia mampu menarik sekitar 10,5 juta kontainer dan Thailand sebanyak 8,1 juta kontainer.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan, mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni sekitar 600 mil, namun kurang mendapat limpahan dari arus kapal global di Selat Malaka.
Sementara itu, Singapura dengan garis pantai hanya 15 mil dan Malaysia 200 mil mampu menarik minat kapal untuk bersandar dengan jumlah lebih besar.
Menurut Wahyu, kapal asing kurang tertarik bersandar di pelabuhan Indonesia sepanjang Selat Malaka disebabkan belum tersedianya fasilitas bongkar muat kontainer yang memadai sehingga pelayanan kepelabuhanan menjadi kurang optimal dan efisien.
Selama ini, pengembangan pelabuhan di Indonesia masih terfokus di Pulau Jawa, yang justru tidak dilalui poros maritim dunia.
Terkait dengan itu, peran pelabuhan menjadi sangat penting dalam mendukung peningkatan aktivitas ekonomi.
Pemerintah Indonesia berkeinginan mengembangkan poros maritim yang ditunjukkan dengan upaya menyediakan infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang bersaing secara internasional, terlebih pelabuhan yang terdapat di sepanjang Selat Malaka seperti Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara.
Pembangunan pelabuhan yang kompetitif merupakan upaya Indonesia dalam meningkatkan daya saing Indonesia dalam persaingan global.
Merujuk data World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2019, infrastruktur transportasi Indonesia berada di posisi 55 dari 141 negara.
Sedangkan tingkat efisiensi dari pelabuhan menduduki peringkat 61. Sementara itu, Singapura merupakan negara dengan infrastruktur transportasi terbaik di dunia.
Tak heran, jika capaian ini yang membuat perusahaan-perusahaan pelayaran global lebih memilih untuk menyandarkan kapal-kapalnya di negara ini.
Dari tahun 2017 hingga 2019, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan. Rekor terburuk terjadi pada tahun 2018 ketika defisit neraca pembayaran Indonesia mencapai 8,57 miliar dolar AS atau setara 3,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Salah satu penyebab defisit pada neraca perdagangan bersumber dari sisi kepelabuhan. Meski Indonesia adalah negara maritim, ternyata tidak memiliki konektivitas pelabuhan sebaik negara tetangga.
Akibatnya, biaya logistik di Indonesia menjadi lebih mahal. Belum optimalnya infrastruktur transportasi di Indonesia menjadi salah satu penyebab biaya logistik menjadi lebih mahal.
Menurut Frost and Sullivan (2019), Indonesia memiliki biaya logistik termahal di Asia, yakni sebesar 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Biaya logistik Vietnam mencapai 20 persen dari PDB, Thailand 15 persen dari PDB, dan Tiongkok 14 persen dari PDB.
‘’Sedangkan biaya logistik di Malaysia, Filipina, dan India hanya sebesar 13 persen dari PDB.
Faktor utama penyebab masih tingginya biaya logistik di Indonesia antara lain adalah pertama, waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan Indonesia relatif lebih lama dibandingkan dengan negara lain,’’ demikian Wahyu Ario Pratomo.(sof)