Bank Dunia: Indonesia Naik Kelas ! Kelas Siapa…?

  • Bagikan

Horeee….Indonesia naik kelas! Bank Dunia menaikkan status Indonesia dari ‘lower middle income country ’ menjadi ‘upper middle income country ’. Dasar penilaiannya karena GNI per kapita Indonesia tahun 2019 meningkat naik menjadi 4.050 dolar AS dari posisi sebelumnya 3.840 dolar AS.

Dalam suasana serba muram pandemik Corona Covid-19, sejenak kita dihibur oleh Bank Dunia dengan kenaikan status (kelas) ini.

Wajar bila Presiden pun dalam siaran persnya yang dilansir di istana Bogor, Sabtu 4 Juli, mengajak kita semua untuk mensyukurinya.

Bank Dunia menyatakan capaian prestasi perekonomian Indonesia perlu diberikan penghargaan. Maka Indonesia pun naik kelas, jauh dari julukan negara miskin baru berkembang

Tapi, dikarenakan saya bukan seorang ekonom, pengkatagorian ‘kenaikan kelas’ ala Bank Dunia ini saya proyeksikan ke dalam imaji seorang penggemar tinju.

Setiap kenaikan kelas dalam dunia tinju, memastikan adanya perbedaan bobot sang petinju secara nyata. Petinju ‘kelas bulu’ secara fisik pasti tampak nyata lebih kecil dibanding petinju ‘kelas ringan’.

Secara otomatis kelas satu tingkat di atasnya, diasumsikan lebih berisi dan karenanya lebih perkasa.

Lewat runtun berpikir ala awam ini, klasifikasi pengkategorian ala Bank Dunia yang menyatakan Indonesia naik kelas, tiba-tiba jadi masalah.

Menjadi absurd, ketika mayoritas masyarakat dihadapkan pada realita keseharian hidup mereka yang sangat bertolak belakang.

Terjadi desparitas yang jauh antara apa yang dinyatakan Bank Dunia seputar peningkatan prestasi perekonomian negara, dengan realita sehari-hari kehidupan ekonomi kalangan rakyat menengah hingga bawah. Perekonomian mereka berada dalam kondisi senin-kemis..

Bila kenaikan income dimaksud ditujukan kepada satu persen penduduk Indonesia yang menguasai perekonomian 260 juta rakyat, pasti sangat mudah dipahami rakyat.

Pergerakan ekonomi mereka memang selalu meningkat dan tampak jelas kasat mata. Kekayaan mereka (para konglomerat) memang kian menumpuk di berbagai sektor kegiatan ekonomi Nasional.

Sangat luar biasa, karena memang di luar kebiasaan yang biasa dilakukan masyarakat ekonomi pada umumnya.

Mereka adalah pemenang dalam sebuah ‘game’ yang bertemakan ‘the winner takes all ’. Layak mendapatkan ‘award khusus’ Bank Dunia atas prestasi mereka.

Atas keberhasil mereka membuat seluruh petinggi negara membiarkan mereka menjalankan ‘usaha TAK-TAK terbatas’. Maka ketika Bank Dunia mengalihkan nilai capaian prestasi bukan ke mereka tapi kepada negara, bisa jadi malah merupakan pelecehan.

Karena dengan demikian Bank Dunia menyatakan bahwa negara (secara ekonomi) sebenarnya adalah mereka.

Makanya, ketika Pak Presiden meminta rakyat Indonesia bersyukur atas ‘Indonesia naik kelas’ versi Bank Dunia, sebagai warga negara yang mematuhi anjuran Presiden, saya pun turut melakukannya.

Walau dengan setengah hati, saya lakukan sepanjang hari hingga menembus dinginnya malam. Hanya saja ketika matahari pagi membangunkan saya, yang terbangunkan bukan hanya fisik semata, tetapi kesadaran dan sikap kritis saya ikut terbangunkan dan langsung menggeliat.

Saya bangun dan langsung berjalan pagi menuju arah belakang rumah. Sebuah area perkampungan semi kumuh. Di area ini tinggal puluhan warga miskin Ibukota.

Juga di area tak jauh dari situ masih terdapat ratusan rumah yang berpenampilan sama, wajah perkampungan miskin kota.

Hampir semua rumahtangga mereka berada dalam kondisi keterpurukan ekonomi dihantam pandemik Covid-19.

Mereka hidup dalam keprihatinan dan kesusahan yang serius. Dihadapkan pada realita ini, saya pun terpaksa menilai bahwa penilaian Bank Dunia menjadi tak lebih dari sekadar hiburan yang sama sekali tidak lucu.

Di mata saya, para penghuni perkampungan kumuh, mereka bukan sekadar kumpulan angka, tapi kumpulan manusia. Yang kualitas hidupnya tidak cukup diwakili oleh angka-angka yang jauh dari realita dirinya.

Mereka adalah mahluk hidup yang memang tak mungkin terlihat oleh mata yang melulu mementingkan tumpukan angka-angka sebagai realita gambaran dunia nyata.

Mereka menjadikan angka-angka sebagai berhala yang mereka puja dan sembah. Apalagi bila angka-angka itu diproduksi oleh ‘klenteng agung’ keuangan dunia (Bank Dunia-IMF).

Para biksu di ‘klenteng lokal’ pun sigap menyuruh umat untuk melakukan pemujaan dan penyembahan. Dengan iming-iming hidup akan lebih sejahtera dan jauh dari kemiskinan.

Sementara dalam realita kehidupan sehari-hari, mereka seharian menguras keringat mencari nafkah dengan  zero penghasilan, terkena dampak pandemik Corona Covid-19.

Ditambah lagi beban ketakutan terancam kehilangan pekerjaan. Mereka nyaris sepenuhnya kehilangan daya gerak. Torehan angka kenaikan income negara versi Bank Dunia, tak ada korelasi sama sekali dengan kehidupan mereka.

Karena dalam realita, penghasilan mereka belakangan ini terus merosot melaju turun dengan sangat memprihatinkan.

Kalau toh atas ucapan saya ini, Sri Mulyani  datang mengusung sejumlah data penuh angka, saya hanya bisa mengatakan …maaf Ibu Menkeu, saya tak mampu membohongi mata saya. Termasuk mata hati, mata batin, dan pikiran. Dihadapkan realita semua ini, bagaimana saya harus bersyukur?

Ironisnya, dalam keadaan rakyat serba minus ini, masih saja ada petinggi negara yang lantang bersuara; kami pro rakyat, jalan ini sudah benar dan pro rakyat, partaiku pro rakyat, mati hidupku untuk rakyat! Tapi kenyataannya, apa yang terjadi ?

Semua berjalan dan dijalankan atas nama pro kemajuan dan pro peningkatan status perekonomian negara, minus kesejahteraan rakyat.

Oleh karenanya, sejumlah pertanyaan yang begitu banyak pun menjadi tergiring meruncing hanya ke satu pertanyaan; apakah perekonomian negara (melalui jendela penilaian Bank Dunia) merefleksikan kondisi perekonomian rakyatnya ?

Karena dalam kenyataannya, satu persen warga Indonesia (yang hampir seluruhnya dari etnis tertentu), menguasai hampir seluruh sendi kehidupan perekonomian Indonesia.

YANG KAYA menjadi SEMAKIN KAYA, dan yang miskin terus beranak pinak dalam kemiskinannya.

Dengan realita ini, di mana keadilan dan adilnya tata ekonomi nasional kita ? Catatan penting: penekanan pada kata ‘etnis tertentu’ jangan didekati melalui jendela rasialis.

Ini masalah keadilan, demokrasi ekonomi, dan  perimbangan kekuatan dalam kerangka ketahanan nasional. Dalam kaitan ekonomi, jangan sampai ada ‘negara’ dalam negara!

Oleh karenanya, kita perlu mempertanyakan kembali;  apakah roda perekonomian kita sudah berjalan di atas rel yang benar ? Di atas relnya cita-cita revolusi Indonesia ? Atau, kita sengaja membiarkan perekonomian nasional kita, masuk dalam perangkap ‘slow motion suicide’…alias bunuh diri secara perlahan, tapi pasti.

Saya mengajak untuk sejenak menoleh sejarah ke belakang, untuk jangan sampai kita melupakan apa yang pernah terjadi pada Pak Harto dan ulah IMF (Suharto-Camdessus, 15 Januari ‘98).

Mereka yang memulai, dan mereka pula yang mengakhiri (Suharto)! Mereka yang memberi bantuan, dan mereka pula yang membantu pembangkrutan.

Karenanya saya justru mengajak, untuk jangan terbuai dengan nyanyian merdu Bank Dunia yang berjudul ‘Indonesia naik kelas’.

Sebaiknya lebih mengkontrasikan seluruh daya dan pikiran untuk tiga wilayah titik konsentrasi kerja nasional.

Pertama, pemulihan kesehatan rakyat, bebas Covid-19; Kedua, penyehatan kembali perekonomian rakyat, utamanya pemulihan dan perluasan lapangan kerja menghindari luapan pengangguran, sekaligus pemulihan dan penguatan kembali daya beli rakyat; Ketiga, Ketahanan pangan dan enerji untuk kesejahteraan rakyat.

Tentunya ketiga prioritas kerja nasional di atas, hendaknya dilakukan dengan melakukan pilihan: kembali berjalan di atas relnya cita-cita kemerdekaan 1945. Bukan di atas relnya perekonomian kaum Kapitalis-neo Imperialis ! ( Watyutink.com)

Berikan Komentar
  • Bagikan