Cetak Uang Tutupi Defisit Anggaran Tidak Tepat

  • Bagikan

MEDAN (Berita): Ekonom Wahyu Ario Pratomo (foto) mengatakan, langkah untuk cetak uang guna tutupi defisit anggaran disebabkan belanja pemerintah untuk menutupi pandemi Covid-19 tidak lah tepat.

“Cetak uang tutupi defisit anggaran tidak tepat karena dikhawatirkan menimbulkan inflasi yang tinggi,” kata Wahyu Wahyu kepada Berita, Kamis, (28/5).

Itu berati, nilai uang akan jatuh karena jumlah yang yang beredar bertambah banyak.

Lebih jauh Wahyu mengatakan, bila pemerintah mencetak uang, ini akan berdampak terhadap peningkatan harga-harga barang.

Hal ini karena dipicu uang yang beredar terlalu banyak di masyarakat.

“Ini pernah terjadi di masa orde lama, yang mana pada saat itu pemerintah Indonesia mengalami defisit anggaran, lalu ditutupi dengan melakukan pencetakan uang,” ujarnya.

“Nah apa yang terjadi? Konsumsi masyarakat meningkat sedangkan produksi tidak bertambah,” ujar Wahyu.

Namun jika defisit anggaran ditutupi dengan penjualan surat utang (obligasi), maka jumlah uang tidak akan bertambah.

Itu lantaran obligasi tadi dijual untuk menarik uang dari masyarakat atau lembaga/korporasi yang memiliki surplus dana.

Dengan alasan apa yang pernah dilakukan pemerintah pada orde lama tersebut, yakni inflasi Indonesia mencapai defisit hingga 600 persen untuk menutupi anggaran.

“Dari pengalaman inilah mungkin pemerintah tidak melakukan kebijakan pencetakan uang,” sebut Wahyu.

Tidak Dibeli Pihak Asing

Ditanya butuh waktu lama untuk melunasi utang kepada World bank seperti yang dilakukan pemerintah saat ini, menurut Wahyu, sebaiknya tidak dibeli pihak asing.

Melainkan menjual obligasi tersebut yang dibeli oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Jika dibeli pihak asing, maka sangat rawan jika ada gejolak eksternal.

Ini dapat dicontohkan pada saat awal Maret 2020.

Ketika itu pandemi Covid-19 mencuat, yang menyebabkan pemilik modal menjual obligasi dan saham mereka dalam bentuk uang cash.

“Akhirnya, permintaan dollar meningkat dan kurs rupiah babak belur, ” jelas Wahyu.

Memang inilah resiko jika pemodal asing menguasai obligasi suatu negara.

Tetapi, kalau dikuasai oleh masyarakat Indonesia, tentunya tidak akan ada kepanikan, karena tidak ada dana asing yang keluar.

Memang tidak ada jalan lain, pemerintah butuh dana.

Lalu langkah yang ditempuh adalah dengan menjual obligasi dan untuk saat ini yang berminat membeli juga masih banyak dari investor asing.

Apalagi aliran dana asing masuk kembali ke Indonesia karena bunganya (yield) tinggi.

Butuh PMA

Menyikapi banyak kekuatiran masyarakat bahwa SDA yang harus dipertaruhkan pemerintah untuk mengatasi utang negara, menurut dosen USU ini, hal itu tidak bisa dipungkiri.

Artinya, kita tidak bisa anti dengan Penanaman Modal Asing (PMA) untuk menanamkan modal mereka di Indonesia, dan faktor SDA ini juga yang menarik bagi PMA untuk berinvestasi di Indonesia.

“Sebab, hanya SDA yang kita miliki sebagai sumber daya saing Indonesia,” sebut Wahyu.

“Kalau SDM kita masih belum berdaya saing seperti negara-negara maju lainnya. Apalagi masalah perizinan, infrastruktur, dan birokrasi. Jadi, PMA masih tertarik untuk Indonesia, karena SDA kita melimpah,” ujarnya.

Mereka mampu menyesuaikan gaya birokrasi dan sudah menghitung potensi penerimaan dan pengeluarannya.

PMA tetap mau investasi karena menguntungkan.

Karena itu, kata Wahyu, kita perlu PMA agar ada aliran dana asing yang masuk, karena dana tersebut dapat menambah cadangan devisa dan membuat kurs rupiah stabil.

“Di samping itu, memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, ” tutupnya. (lin)

Berikan Komentar
  • Bagikan