Belakangan ini kota Solo menghadirkan sejumlah kejutan. Dibuka dengan kasus tergusurnya Wakil Wali Kota Solo, Purnomo, oleh putra Pak Presiden Jokowi.
Publik se Indonesia Raya pun bereaksi. Pembicaraan seputar Politik Dinasti dalam waktu singkat membahana di seantero jagat Nusantara.
Belum lagi masalah Politik Dinasti selesai dibahas tuntas, muncul lagi kehebohan baru. Karena besar kemungkinan tak satu pun calon pesaing yang memenuhi persyaratan untuk menantang Gibran pada Pilkada 2020 ini.
Bila demikian, Gibran terpaksa (atau memang itu maunya) akan berhadapan dengan Kotak Kosong sebagai lawan. Artinya, sang Kotak Kosong adalah tempat di mana suara yang akan mengatakan…’Say NO to Gibran’, dihadirkan untuk menampung.
Gibran lawan Kotak Kosong pun mengingatkan para pengamat politik akan peristiwa yang sama dan pernah terjadi di kota Makassar.
Calon wali kota yang konon orang pilihan Jusuf Kala (wapres saat itu), dikalahkan oleh sang Kotak Kosong. Kehebohan merebak ketika dicuatkan ke permukaan bahwa hal ini pun bisa terjadi pada Gibran.
Bahkan para pendukung Gibran membangun skenario melawan kotak kosong dikondisikan karena ada kekuatan tertentu yang menghendakinya.
Solo pun menghangat. Indonesia dan bangunan budaya politiknya pun dibuat ‘demam’ oleh geliat budaya politik Solo ala Jokowi..
Gegeran di kotanya Pak Presiden agaknya tidak berhenti sampai di situ. Belum lama terjadi pula persekusi terhadap satu keluarga muslim Syiah yang tengah menggelar adat tradisi Jawa.
Gelaran malam midodareni adalah tradisi adat Jawa. Intinya mendoakan calon pengantin agar pernikahan berjalan baik dan pasangan dapat membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Namun di tengah acara berlangsung, sejumlah orang berbusana muslim menyambangi rumah Habib Aljufri. Mereka berusaha membubarkan acara malam midodareni.
Para pelaku kerusuhan pun berteriak-teriak… “Allahu Akbar.., bubar, kafir…Syiah bukan Islam, Syiah musuh Islam, darah kalian halal..!!!”
Belum lagi peristiwa menyedihkan ini hilang dari ingatan kita, lagi-lagi kota Solo digegerkan dengan pernyataan Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS).
Organisasi keagamaan ini menolak dipasang dan disosialisasikannya logo peringatan 75 tahun Indonesia merdeka. Hal mana dikarenakan komposisi desain dinyatakan mengandung dan menonjolkan unsur gambar palang salib.
Oleh DSKS gambar tersebut dinyatakan sebagai simbol kaum kristiani. Satu pernyataan yang sangat mengejutkan dan tentunya sangat pula memprihatinkan.
Nah, apabila labelisasi dan penolakan ini dibiarkan berkembang, bisa dibayangkan betapa banyak simbol-simbol serupa yang bakal ‘diharamkan’.
Mengapa untuk logo perayaan 75 tahun kemerdekaan yang tidak secara penuh bermaksud menonjolkan desain salib, malah ‘diharamkan’?
Bagaimana dengan mobil ambulans yang jelas-jelas menampilkan palang salib merah ? Masihkah dibiarkan dan tidak ‘diharamkan’ beroperasi?
Bisa dibayangkan bila penolakan sejenis yang mengatasnamakan demi menjaga ‘kemurnian agama’ dibiarkan terus berlanjut.
Belum lagi ditambah peristiwa dihancurkannya sejumlah keris oleh kelompok berpandangan hampir serupa walau tak sama, karena keris dinyatakan sebagai benda berbau musyrik.
Lalu apa lagi yang akan mereka hancurkan ? Warisan budaya adiluhung yang oleh bangsa Indonesia seperti tari-tarian tradisional Jawa, Sunda, dan lain-lain, yang menampilkan para penari wanita dengan pundak terbuka, pastilah terancam untuk ‘diharamkan’.
Pemusnahan warisan budaya produk lokal jenius yang mulai terasa dilakukan secara terencana dan sistemik ini, agaknya menyimpan agenda politik terselubung.
Tahapan gerakan untuk menghapus produk budaya warisan lokal jenius yang akan digantikan oleh budaya mereka atas nama pemurnian agama, sepertinya sudah harus kita cermati secara serius.
Tentunya dengan belajar dari cara-cara mereka meluluh lantakan kebudayaan lokal negara-negara di Timur Tengah.
Setidaknya berdasarkan masukan yang didapat dari para pengamat perubahan di Timur Tengah, begitulah kinerja kaum Takfiri (sebagaimana amatan para pengamat) dalam menancapkan ajaran dan keyakinan mereka di suatu negara yang dijadikan target.
Mengapa Solo menjadi tempat untuk melansir produk desain mereka yang ekstrim zero toleransi ? Salah satu kemungkinan, karena Solo tempat kelahiran di mana Presiden Jokowi dibesarkan.
Sehingga menggoyang daerah Surakarta-Solo dan sekitarnya, setidaknya akan mengaitkan peristiwa yang digelar dengan hubungan emosional Presiden Jokowi terhadap segala sesuatu yang terjadi di kota tercintanya.
Apalagi setelah terbukti bahwa pemunculan Gibran langsung viral ke seluruh pelosok Tanah Air. Sehingga dengan melakukan gerakan ‘pengharaman’ di kota Solo, bisa saja kita maknai sebagai langkah ‘testing the water’ dari mereka di satu wilayah yang cukup strategis.
Bila Pak Jokowi ternyata membiarkan dan mengabulkan tuntutan mereka, maka langkah selanjutnya dipastikan gelaran gerakan pengharaman akan ditingkatkan, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Karena terbukti dengan sikap Pak Presiden Jokowi yang membiarkan masalah status hukum organisasi HTI sebagai organisasi terlarang, mengambang di wilayah abu-abu, hasilnya luar biasa menakjubkan.
Kerusakan kerukunan antara warga bangsa dan harmoni kehidupan antar pemeluk agama, mengalami penurunan kualitas yang sangat memprihatinkan dan sangat mencemaskan.
Bila Pak Presiden menganggap sederet peristiwa sebagaimana terpapar di atas tidak lebih penting dari masalah ekonomi dan Covid-19, dikhawatirkan keberhasilan membangun dan mempertahankan stabilitas ekonomi dan kesehatan masyarakat akan berakhir dengan kesia-siaan.
Karena bukan hanya ekonomi dan kesehatan bangsa Indonesia yang bakal rontok, tapi seluruh bangunan sendi kehidupan Indonesia yang kita cita-citakan bersama, akan terkubur selamanya.
Indonesia pun menjadi tinggal kenangan. Karena sebuah bangsa yang ditinggalkan dan meninggalkan kebudayaan aslinya, maka negara tersebut akan berubah menjadi negara lain; yang bukan lagi menjadi dirinya sebagai bangsa yang berdiri di atas bangunan ideal dan cita-cita kebudayaan bangsanya.
Sehingga lagu ‘Bengawan Solo’ karya komponis besar Gesang, putra Solo, syairnya menjadi bisa didekati dengan sejumlah jendela interpretasi. Terutama pada penggalan syair..
“Mata airmu dari Solo…, air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.!”
Interpretasi kata.. “…akhirnya ke laut’’ jangan sampai bisa diterjemahkan lewat idiom bahasa gaul masa kini yang berkonotasi…’ke laut’ dalam pengertian hilang, lenyap, berantakan.
Sehingga dengan demikian, menjaga ‘mata air’ dari Solo agar terus mengalir menyuburkan tanah Nusantara, haruslah menjadi pemikiran kita bersama.
Sehingga setiap upaya untuk menjadikan kota Solo sebagai wilayah ‘testing the water’nya produk politik kaum takfiri, akan mengalami kemandulan yang sempurna.
Dalam hal ini, ketegasan dan keberanian Pak Jokowi untuk memberangus gerakan kaum takfiri, menjadi kunci utamanya. Apakah ‘sang mata air’ dari Solo akan lebih membawa manfaat, atau sebaliknya, membawa musibah bagi kehidupan rakyat di bumi Nusantara tercinta ini.
Kepastian akan jawaban semua ini, ada di tangan Pak Presiden, Putra Solo sejati ! (Watyutink.com)