Jakarta (Berita): Lebih dari 200 negara di dunia saat ini tengah berjuang melawan penyebaran pandemi virus corona. Berdasarkan data John Hopkins University (JHU) hingga Selasa (14/4) lebih dari 1,9 juta orang di seluruh dunia positif Covid-19 dengan lebih dari 119 ribu orang meninggal dan lebih dari 400 ribu pasien sembuh.
Untuk mengantisipasi dampak terburuk, sejumlah negara saat ini mencoba memprediksi puncak penyebaran pandemi SARS-COV-2. Pemerintah beserta lembaga terkait memperkirakan puncak penyebaran virus corona mengacu pada jumlah pasien yang terinfeksi dari waktu ke waktu.
Amerika Serikat saat ini menjadi negara dengan kasus corona dan kematian tertinggi di dunia dengan total 560 ribu kasus dan 22 ribu korban meninggal dunia. Lonjakan kasus terbesar di AS tercatat terjadi pada 4 April lalu dengan lebih dari 34 ribu kasus baru dalam tempo sehari. Kendati demikian, sejumlah pakar memperkirakan puncak penyebaran virus corona di AS baru masih akan terjadi hingga Mei mendatang.
Di tengah negara-negara yang sedang bersiap menghadapi puncak pandemi, saat ini ada tiga negara yang telah melewati masa tersebut. Ketiga negara tersebut yakni China, Italia, dan Prancis.
China saat ini dikategorikan merayakan kemenangan setelah berjuang melawan Covid-19 sejak awal Januari 2020. Lonjakan kasus baru di China sempat mengalami lonjakan signifikan pada 12 Februari lalu sebesar 14.108 kasus baru hingga total mencapai lebih dari 51 ribu kasus saat itu.
Kendati sempat mengalami lonjakan besar, jumlah kasus baru di China terus menurun. Terlebih setelah pemerintah memutuskan untuk melakukan penutupan wilayah (lockdown) sejak 23 Januari silam.
Komisi Kesehatan China melaporkan penurunan kasus baru dan jumlah korban meninggal akibat virus corona sejak awal Maret lalu. Puncaknya pada Kamis (19/3) untuk pertama kalinya melaporkan nihil kasus baru virus corona di dalam negeri. Laporan yang sama diungkap selama dua hari berturut-turut sehingga tidak ada penambahan kasus Covid-19 setelah dua bulan terakhir.
Selain penurunan kasus, angka kematian di China juga terus melambat. Pada pertengahan Maret dilaporkan hanya tiga orang yang meninggal akibat Covid-19, jumlah terendah sejak China merilis data Covid-19 pada Januari lalu.
Menyusul di awal April, tepatnya pada Selasa (7/4) China melaporkan nol kematian baru akibat virus corona untuk pertama kalinya. Pemerintah China sempat memberi kelonggaran dengan mengizinkan warga keluar rumah sebelum sepenuhnya membuka lockdown.
Baru pada Rabu (8/4) pemerintah mencabut kebijakan lockdown di Wuhan lantaran sudah dianggap berhasil menekan penyebaran virus corona. Di sisi lain, Presiden Xi Jinping memperingatkan warga untuk waspada potensi gelombang dua infeksi virus corona.
Ada beberapa faktor yang membuat China bisa mengendalikan virus SARS-COV-2, salah satunya fasilitas dan sistem kesehatan yang mumpuni. Hal itu diakui oleh warga China yang tengah berada di Amerika Serikat.
“Jika sesuatu terjadi pada saya, saya lebih memilih berada di China. Layanan perawatan kesehatannya lebih baik. Sistem medisnya telah menangani puluhan ribu kasus,” kata salah seorang mahasiswa China di Amerika Serikat, seperti dikutip South China Morning Post.
Bukan tanpa alasan, di bulan pertama merebaknya kasus virus corona, pemerintah merespons dnegan membangun rumah sakit darurat dalam tempo dua pekan. Disamping itu, pemerintah juga mengubah fasilitas publik seperti bangunan sekolah, stadion, hingga pabrik untuk menampung hingga dua ribu pasien.
Pemerintah China juga menerjunkan sekitar 1.400 petugas medis dari kalangan militer untuk merawat sekitar 1.000 pasien di masing-masing RS. Kendati kini pandemi corona dianggap telah melemah, sekitar 346 tim medis masih disiagakan di seluruh penjuru negeri. Jumlah keseluruhan tim medis yang diperbantukan sejak pertama kali pandemi corona muncul tercatat mencapai 42.600, termasuk 19 ribu tenaga kesehatan.
Italia
Italia merupakan negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di Eropa. Hingga Senin (13/4) Italia memiliki 156.363 kasus dengan total kematian 19.899, tertinggi ketiga di dunia setelah AS dan Spanyol.
Kendati demikian, Italia diduga telah melewati puncak penyebaran virus corona. Seperti halnya China, Italia juga menerapkan kebijakan lockdown sejak 9 Maret.
Sejak memutuskan lockdown dan mengharuskan warga tinggal di rumah, Italia sempat beberapa kali mencatat lonjakan kasus baru. Pemerintah Italia kemudian memutuskan untuk memperpanjang lockdown sampai 12 April setelah infeksi virus corona merenggut 11.591 jiwa hingga 31 Maret lalu.
Terlebih setelah dua hari sebelumnya pada 28 Maret, kasus Covid-19 di Italia meroket hingga melampaui China. Berdasarkan data Johns Hopkins University, Italia memiliki 86.498 kasus, sementara China memiliki 81.946 kasus.
Hingga akhir Maret, Italia menjadi salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia yakni mencapai 10,5 persen. Dalam tempo sehari pada 27 Maret lalu, tercatat 969 orang yang positif corona meninggal.
Jelang pencabutan lockdown, pemerintah Italia menyatakan kebijakan tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, khususnya di area yang sjak awal terdampak Covid-19.
Sekitar 10 kota di Italia utara termasuk kawasan Lombardia, Vo Euganeo, kota Veneto, dan Provinsi Padova mulai melaporkan penurunan kasus baru dan pasien Covid-19 yang meninggal ditambah pasien sembuh yang terus bertambah.
Data yang dirilis situs pelaporan daring Worldometers pada Rabu (1/4) pasien sembuh mencapai 15.729 atau melampaui pasien meninggal sebanyak 12.428 jiwa. Sementara kasus corona saat itu mencapai 105.792.
Sekitar seminggu jelang pencabutan lockdown, untuk pertama kalinya Italia mencatat angka kematian harian terendah sejak 19 Maret. Pada Senin (6/4) lalu, Italia mencatat angka kematian terendah sebanyak 525 jiwa, jauh dari angka terendah sebelumnya pada 19 Maret sebanyak 427 korban jiwa.
Angkat tersebut juga menurun 23 persen dibandingkan sehari sebelumnya pada Sabtu (4/4) yang mencapai 681 korban jiwa dalam tempo sehari.
Penurunan angka kematian kembali terjadi di detik-detik terakhir pencabutan lockdown. Pada Minggu (12/4) Italia mencatat kematian terendah dalam kurun tiga pekan terakhir.
Layanan perlindungan sipil Italia melaporkan 431 kematian baru dan menjadi angka terendah sejak 19 Maret. Selain itu, jumlah orang yang dirawat di rumah sakit juga ikut menurun.
Kepala Layanan Perlindungan Sipil Angelo Borelli mengaku pihaknya merasakan penurunan tekanan Covid-19 dari turunnya jumlah orang yang dirawat di rumah sakit saat ini. “Tekanan terhadap rumah sakit terus mereda,” kata Borelli dikutip dari AFP.
Prancis Prancis
Prancis sempat menjadi negara kedua di Eropa setelah Italia dengan kasus infeksi virus corona tertinggi. Prancis melaporkan kasus pertama virus corona pada 15 Februari yang menginfeksi 15 orang.
Pada 4 Maret, Prancis baru melaporkan empat orang meninggal dunia dari total 269 kasus virus corona.Namun jumlahnya melonjak drastis mencapai 1.178 kasus pada 8 Maret dengan total kematian mencapai 19 orang. Angka kematian melonjak pada 16 Maret menjadi total 148 korban jiwa dengan 6.473 kasus.
Menteri Kesehatan Prancis Olivier Veran mengatakan data tersebut merupakan angka lonjakan kematian terbesar dalam sehari yakni bertambah 29 orang dari sehari sebelumnya sebanyak 119 korban jiwa. Sementara kasus baru bertambah 900 sehingga total menjadi 5.400 orang.
Peningkatan tajam jumlah korban Covid-19 terjadi setelah Prancis mengadakan putaran pertama pemilihan kota secara serempak, kemarin, Minggu. Diperkirakan tingkat abstain tinggi karena masyarakat khawatir penyebaran virus corona di tempat pemungutan suara.
Menanggap kondisi tersebut, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan untuk memberlakukan kebijakan pembatasan perlintasan (lockdown) mulai Selasa (17/3) tengah hari waktu setempat hingga 15 April.
Di awal penerapannya, Macron berdalih kebijakan itu tidak seketat Italia dan Spanyol lantaran orang masih boleh keluar asalkan tidak melakukannya secara berkelompok.
Untuk mengawasi agar warga mematuhi aturan lockdown, pemerintah mengerahkan helikopter dan drone. Penggunaan helikopter dan drone disebut bisa memberi gambaran panoramik yang lebih luas dari situasi kota untuk membantu petugas di lapangan.
Namun, meningkatnya kasus dan kematian akibat virus corona membuat pemerintah berpikir ulang sehingga memperketat kebijakan lockdown. Pemerintah Prancis bahkan tak segan-segan menjatuhi denda sebesar 135 euro hingga 375 euro bagi warga yang nekat keluar rumah tanpa alasan yang jelas selama masa lockdown.
Lonjakan kematian akibat virus corona kembali terjadi tepat dua pekan setelah diberlakukan lockdown atau tepatnya pada Senin (30/3). Angka kematian harian tercatat mencapai 148 orang, jumlah kematian harian tertinggi sejak epidemi corona terjadi di Prancis.
Dengan kematian tersebut, jumlah korban meninggal akibat virus corona di Prancis naik menjadi 3.024. Selain korban meninggal, pemerintah setempat juga melaporkan sampai dengan awal April lalu sebanyak 20.946 kasus dengan 5.056 diantarnya dirawat secara intensif.
Angka kematian akibat corona kembali melonjak hingga dua kali lipat pada 3 April lalu. Total kematian mencapai 6.503 jiwa dengan 61.650 dinyatakan positif terinfeksi virus corona.
Sejak saat itu, Prancis masih mencatatkan penambahan kasus baru dan angka kematian yang tidak signifikan. Pada Minggu (12/4) kemarin, Prancis hanya mencatat 2.937 kasus baru sehingga total menjadi 91.012 virus corona dari 89.431 di sehari sebelumnya.
Direktur Jenderal Kesehatan Prancis Jerome Salomon mengatakan perlambatan virus tersebut terjadi setelah pemerintah Prancis memutuskan lockdown untuk menyeimbangkan kurva penambahan pasien corona dan jumlah pasien yang meninggal.
“Perlambatan yang terjadi beberapa hari terakhir terkait dengan disiplin warga mematuhi aturan agar tetap tinggal di rumah,” ujar Salomon seperti mengutip AFP.
Prancis sendiri telah memperpanjang kebijakan penutupan wilayah atau lockdown hingga setelah 15 April 2020 untuk memperlambat penyebaran Covid-19. Perpanjangan kebijakan ini dilakukan di tengah meningkatnya kematian akibat virus corona di Eropa. (cnn/evn)