Jakarta (Berita): Negara-negara di benua Afrika saat ini tengah dihadapi dilema di tengah upaya pencegahan penularan virus corona. Dibandingkan negara di benua lain, Afrika terhitung terlambat terkena pandemi Covid-19.
Para pengamat memperingatkan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan konkret untuk mengatasi penularan virus corona tanpa harus mengorbankan warga miskin yang terancam kelaparan jika mengikuti imbauan pemerintah agar tetap tinggal di rumah.
Sejumlah negara seperti Afrika Selatan, Liberia, Zimbabwe, Mesir, Madagaskar, Ghana, dan Nigeria memutuskan untuk menutup wilayah (lockdown) kendati harus mengalami sebuah dilema. Mauritius, Rwanda dan Tunisia adalah yang pertama memberlakukan lockdown nasional.
Sejumlah negara di benua Afrika hingga kini memilih cara lain untuk membatasi ruang gerak warganya. Nigeria misalnya, menutup ibu kota Abuja dan Lagos yang merupakan kota terbesar di benua Afrika. Kedua kota itu memiliki jutaan orang yang menghuni daerah kumuh perkotaan.
Alih-alih menerapkan lockdown, sebagian lain memilih solusi berbeda untuk mencegah penularan virus corona. Senegal, Mauritania, Guinea, Mali, Pantai Gading, Burkina Faso dan Niger memberlakukan jam malam untuk menghindari kerumunan warga.
Ethiopia mengambil langkah strategis dengan menutup perbatasan dan sekolah serta melarang lebih dari 100 juta warganya melakukan pertemuan dalam skala besar. Kendati demikian, belum ada aturan pembatasan pergerakan warga.
“Kami tidak dapat memaksakan lockdown seperti negara-negara maju, karena ada banyak warga yang tidak memiliki rumah. Bahkan mereka yang memiliki rumah harus memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed.
Kenya dan Benin telah menutup kota-kota utama mereka untuk mencegah pergerakan masuk dan keluar. Menariknya, ada sebagian lain yang memilih untuk tidak memaksa warganya untuk tinggal di rumah.
Burundi seakan acuh dengan membiarkan sebagian besar aktivitas tetap berjalan seperti biasa. Pemerintah Tanzania bahkan terkesan meremehkan pandemi corona yang telah menyebar ke lebih dari 200 negara tersebut.
“Virus corona seharusnya tidak menjadi alasan untuk menghancurkan ekonomi kita sama sekali,” kata Presiden Tanzania John Magufuli.
Pada Jumat (10/4) lalu, perempuan dan anak-anak di daerah kumuh Nairobi, Kenya terinjak-injak, jatuh, hingga berlumuran saat berebut makanan gratis yang dibagikan pemerintah.
Untuk membubarkan kerumunan masyarakat, polisi bahkan sempat menembakkan gas air mata. Beberapa pria bahkan sempat terlibat saling pukul karena kelaparan.
Kenya sejauh ini melaporkan 225 kasus dengan 10 kematian. Sejauh ini pemerintah juga telah menutup ibu kota Nairobi, memberlakukan jam malam, dan menerapkan jaga jarak sosial demi meminimalisir penyebaran virus.
Aturan tersebut ternyata berdampak besar lantaran tidak sedikit warga yang kehilangan mata pencaharian. Padahal mereka juga tetap harus bertahan hidup.
Anggota sebuah gerakan akar rumput yang mengurusi pemukiman informal Shining Hope for Communities (SHODCO) Kennedy Odede memperkirakan kejadian menyedihkan seperti itu akan terus muncul apabila pemerintah tidak mengurusi jutaan masyarakat miskin di Kenya.
“Saya memberi mereka (pemerintah) satu hingga dua minggu sebelum keadaan menjadi lebih buruk. Tidak dalam hal virus corona, tetapi dalam hal kelaparan. Jika terus seperti ini, kita mungkin bermain dengan api,” ucap Odede, Kamis (16/4) dilansir dari AFP.
Odede menyebut Presiden Uhuru Kenyatta telah menggunakan ancaman lockdown penuh untuk membuat warga negara mematuhi aturan. Para pejabat pun sepakat jika aturan agar warga tinggal di rumah karena sekitar 60 persen penduduk Nairobi berada di area kumuh.
“Mengunci orang di daerah kumuh akan menjadi pilihan terakhir. Banyak yang perlu dilakukan sebelum itu,” kata seorang pejabat tinggi keamanan yang enggan disebutkan identitasnya.
Sulit terapkan lockdown
Peneliti Institute for Security Studies (ISS) Jakkie Cilliers menganggap lockdown sulit diterapkan di negara-negara di benua Afrika. Hal itu lantaran masih banyak warga miskin yang kemungkinan akan menderita karena kelaparan akibat larangan beraktivitas di luar ruangan.
“Lockdown tidak dapat dilaksanakan dan tidak berkelanjutan di banyak wilayah Afrika. Anda mencoba melakukan sesuatu yang tidak mungkin dan Anda mengutuk orang untuk memilih antara kelaparan atau sakit,” ujar Cilliers.
Menurutnya, kerusuhan di negara-negara benua Afrika merupakan reaksi yang tak terhindarkan, karena virus cepat atau lambat akan menghampiri benua tersebut. Dengan demikian, pemerintah diminta untuk membuat solusi unik lainnya dalam mencegah penyebaran virus selain pembatasan.
“Tidak mungkin bagi 10 orang miskin yang tinggal di gubuk dan diminta tidak keluar selama tiga minggu,” ujarnya
Lihat juga: Deretan Negara yang Mulai Longgarkan Lockdown Corona
Campur tangan negara untuk warga miskin
Para ahli sepakat bahwa tingkat pembatasan yang berbeda di setiap wilayah mungkin dapat bekerja bagi Afrika. Namun, diperlukan dukungan negara yang signifikan dari seluruh pihak, terutama pemerintah.
Kenya telah melakukan kebijakan penurunan pajak dan mengirimkan air gratis ke permukiman kumuh, semenrata pemerintah Senegal membayar tagihan listrik dan Presiden Uganda Yoweri Museveni telah mendesak tuan tanah untuk membebaskan uang sewa hingga pandemi berakhir.
Namun, Pengamat Politik Rachel Strohm mengatakan langkah-langkah seperti itu hanya akan menguntungkan orang di sektor formal.
Dilema Lockdown di Afrika, Ancaman Kelaparan saat PandemiFoto: CNN Indonesia/Fajrian
Strohm menyebut pemerintah kerap mendistribusikan makanan di Lagos, Uganda, Rwanda, Afrika Selatan, dan tempat lain. Seringkali bantuan hanya diterima oleh sebagian kecil warga yang membutuhkan.
Dia berargumen bahwa banyak tindakan yang diambil secara tidak efektif dan tidak produktif, seperti penerapan jam malam dan pengurangan jam operasional transportasi umum. Menurutnya hal itu dapat menciptakan kerumunan yang lebih besar ketika warga bergegas pulang tepat waktu, dan dengan demikian meningkatkan risiko infeksi.
Sulit terapkan lockdown
Peneliti Institute for Security Studies (ISS) Jakkie Cilliers menganggap lockdown sulit diterapkan di negara-negara di benua Afrika. Hal itu lantaran masih banyak warga miskin yang kemungkinan akan menderita karena kelaparan akibat larangan beraktivitas di luar ruangan.
“Lockdown tidak dapat dilaksanakan dan tidak berkelanjutan di banyak wilayah Afrika. Anda mencoba melakukan sesuatu yang tidak mungkin dan Anda mengutuk orang untuk memilih antara kelaparan atau sakit,” ujar Cilliers.
Menurutnya, kerusuhan di negara-negara benua Afrika merupakan reaksi yang tak terhindarkan, karena virus cepat atau lambat akan menghampiri benua tersebut. Dengan demikian, pemerintah diminta untuk membuat solusi unik lainnya dalam mencegah penyebaran virus selain pembatasan.
“Tidak mungkin bagi 10 orang miskin yang tinggal di gubuk dan diminta tidak keluar selama tiga minggu,” ujarnya
Dibandingkan pembagian bahan pokok, Strohm dan Odede mendukung gagasan bantuan uang langsung ke warga miskin, terutama untuk menghindari ketidaksetaraan dan kekacauan distribusi makanan.
Di sisi lain, Cilliers berpendapat pemerintah Afrika sepatutnya lebih fokus terhadap ancaman penyebaran virus lebih luas dan keberlangsungan ekonomi masyarakat, ketimbang mementingkan langkah teknis seperti pembagian makanan dan minuman.
“Pemerintah perlu mencoba cara agar mendapatkan aktivitas ekonomi maksimum agar orang dapat bertahan hidup, tetapi cobalah untuk menjaga peluang-peluang infeksi dapat menyebar,” ungkapnya.
Solusi lain untuk menghindari penutupan total dan keruntuhan ekonomi adalah pengujian massal. Afrika Selatan sejauh ini menjadi satu-satunya negara yang menempuh pendekatan tersebut.
Namun, Menteri Kesehatan Afrika Selatan Zweli Mkhize menyebut pihaknya kesulitan dalam meningkatkan dan memperluas pengujian.
“Hanya sekitar 70 ribu tes telah dilakukan sejauh ini, tingkat yang masih terlalu rendah,” ungkap Mkhize. (cnn/ara/evn)