Sejak tersiar isu bahwa pemerintah mengajukan RUU yang dikenal dengan sebutan Omnibus law beberapa bulan yang lalu, penolakan pun sudah ramai bermunculan.
Terutama dari berbagai organisasi dan pemerhati yang berkaitan dengan perburuhan, perlindungan tenaga kerja, dan lingkungan hidup.
Pasalnya dalam undang-undang yang sekarang dikenal sebagai UU Cipta Kerja, banyak pasal yang dinilai hanya menguntungkan para pemilik modal, termasuk dan utamanya modal asing.
Secara umum Undang-Undang Cipta Kerja sepenuhnya berangkat dari kepentingan ekonomi an sich (semata).
Tanpa menempatkan kepentingan buruh atas nama kemanusiaan, dan masalah lingkungan yang didegradasi sebagai hal yang menjadi tidak dianggap penting dan strategis lagi.
Tanpa merinci pasal demi pasal UU Cipta Kerja ini yang dianggap negatif dan yang sudah banyak diketahui khalayak, sorotan kali ini terfokus pada sikap pemerintah dan DPR yang begitu sangat yakin telah menjalankan sesuatu yang benar.
Begitu yakinnya sehingga tanpa memperdulikan suara penolakan yang cukup ramai dan kian memanas, Pemerintah dan DPR melontarkan ‘tantangan’.
Secara terbuka ‘tantangan’ ditujukan kepada kaum buruh yang tergabung dalam sejumlah Serikat Pekerja dan pegiat lingkungan berikut para aktivis dan pemerhati yang sejak awal menolak kehadiran UU Cipta Kerja ini.
Keadaannya bersuasana seperti di arena konflik terbuka yang panasnya dibakar dengan seruan lantang…” ini dadaku, mana dadamu..?!” Si penebar suara lantang sambil menepuk dada kali ini adalah para Pimpinan DPR dan para petinggi negara di Istana Kepresidenan RI.
Bayangkan saja, agenda Sidang Paripurna DPR dalam rangka mengesahkan UU Cipta Kerja yang semula diketahui umum akan dilangsungkan pada 8 Oktober 2020 mendatang, secara mendadak sontak palu pengesahan diketuk pada malam hari 5 Oktober 2020.
Maka UU Cipta Kerja pun sah dan memiliki status hukum yang pasti untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di wilayah hukum NKRI.
Pihak yang tak patuh untuk mengikuti setiap aturan pada pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja ini, dengan sendirinya sah untuk dinyatakan sebagai tindakan melawan hukum. Sangsi hukum pun dibenarkan untuk dijatuhkan pada si pelaku.
Hal yang menarik adalah dipaksakannya pengesahan yang jadwalnya sengaja diajukan. Itulah sebabnya mengapa dalam judul artikel ini saya memakai istilah DPR dan Pemerintah ‘menantang’.
Karena umum pun mengikuti perkembangan berita di medsos bahwa kaum buruh dan pegiat lingkungan berikut aktivis maupun publik yang menentang kehadiran UU Cipta Kerja ini, akan turun ke jalan pada saat Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan RUU Cipta Kerja digelar, pada 8 Oktober 2020.
Bahkan diikuti dengan seruan Serikat Pekerja untuk melakukan mogok nasional yang diketahui umum akan digelar secara nasional pada tanggal 6 hingga 8 Oktober 2020.
Berkaitan dengan permainan pat gulipat waktu pengesahan ketuk palu DPR pada Sidang Paripurnanya yang sengaja dimajukan ini, tentunya mengundang berbagai pertanyaan.
Agenda dan strategi apa yang membuat pihak DPR dan Istana begitu yakin dan berani memainkan patgulipat waktu ini.
Dengan kata lain, jurus apa yang sudah dimiliki DPR dan Istana untuk menghadapi luapan emosi (kemarahan) kaum buruh di Serikat Pekerja dan jajarannya yang merasa diremehkan dan bahkan dilecehkan.
Tak terbayangkan bagaimana mengerikannya bila jutaan buruh benar-benar melakukan mogok kerja.
Apa jadinya bila buruh di sektor transportasi, energi, pelabuhan dan bandara, plus industri-industri besar dan vital lainnya melakukan mogok massal?!
Apakah cukup dengan mengandalkan sebuah telegram dari Kapolri kepada seluruh jajaran kepolisian di pusat maupun daerah untuk mencegah hingga menindak setiap upaya menentang UU Cipta Kerja ?
Apakah akan diberlakukan pola represif untuk menghentikan ribuan massa yang melakukan protes dan mogok missal ?
Bila hal itu diberlakukan, dikhawatirkan gelombang perlawanan massa akan semakin membesar di mana personil polisi akan menjadi ‘people enemy’.
Dalam keadaan keamanan tak terkendali, tentara pun bersiaga dan disiagakan. Begitulah protapnya.
Dan celakanya, bila yang turun jumlahnya hanya dalam bilangan ribuan tentara masih gagah perkasa memukul mundur massa yang berdemo.
Ketika jumlahnya sudah meningkat ke angka puluhan ribu, tentara pun mulai mikir-mikir. Dan ketika yang tumpah ruah ke jalan ratusan ribu hingga jutaan massa rakyat, tentara pun dipastikan ikut bergabung dalam barisan massa rakyat tersebut.
Peristiwa seperti tersebut di atas pernah kita alami pada masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto.
Tentara rezim Orde Baru yang terkenal sangat represif sekalipun, ketika berhadapan dengan jutaan massa rakyat, mereka memilih untuk bergabung ketimbang mencegah dan melawan.
Bersatunya massa rakyat dan tentara adalah sebuah keniscayaan bila massa rakyat bersatu dan berjuta menyuarakan satu tuntutan.
Masih menyisakan keberuntungan hari ini suasananya berbeda. Apalagi ada massa aksi yang mengusung bendera KAMI. Sehingga massa rakyat pun masih dalam keadaan terbelah.
Tidak seluruh rakyat yang tak menyukai sikap pemerintah dengan UU Cipta Kerja-nya, mau bergabung bersama massa aksi yang digelar dan dikomandoi oleh para pentolan KAMI.
Kecuali massa rakyat yang secara spontan dan murni mengusung bendera merah putih yang maju di barisan paling depan melakukan aksi demo besar-besaran, maka potensi gerakan menjadi besar dan meruang baru bisa terjadi.
Bila organisasi serikat pekerja mampu menstransformasi diri menjadi organisasi lokomotif penggerak gerakan massa rakyat, maka gelombang perlawanan dipastikan akan membesar dan berpotensi untuk merobohkan apa saja, termasuk rezim penguasa.
Akan tetapi bila klaim gerakan massa disuarakan oleh para pemimpin oposisi yang tergabung dalam KAMI, maka gerakan massa yang dibayangkan akan masif ratusan ribu massa tumpah ruah ke jalan, hanyalah sebuah harapan yang tak jauh dari dunia delussional.
Bila kaum buruh dan massa rakyat bisa bersatu, maka DPR dan istana bersiaplah untuk tidak tidur nyenyak.
Tapi kalau yang lantang berteriak-teriak adalah para politisi dan para tokoh oposan, dijamin DPR dan Istana tetap berjaya.
Para pengusaha besar dan para pemilik modal (para konglomerat ) yang hitam maupun yang putih, akan tetap ke luar sebagai pemenang.
Dan kaum buruh akan tetap memburuh sambil memburu nasib yang semakin terjepit. Apalagi bila pimpinan Serikat Pekerja, menghianati perjuangan kaum buruh yang dipimpinnya.
Pilihan ada di tangan kaum buruh dan pekerja se Indonesia. Hanya dengan berserikat secara cerdas kemenangan baru dapat diraih !
Hanya mengandalkan otot dan okol, yang akan diraih hanyalah rasa letih yang panjang dan melelahkan !
Bersatu dan bergerak secara cerdas, kunci satu-satunya meraih kemenangan.
Berlaku untuk setiap gerakan rakyat Indonesia menuntut keadilan dan kemerdekaan! (Watyutink.com)