Ilustrasi beritasore
MADINA (Berita): Aroma tak sedap makin menyeruak ekses “mafia tanah” dan diduga melibatkan oknum, setelah tim perjalanan jurnalistik melakukan penelusuran di Pantai Barat Madina.
Informasi dihimpun waspada.id dan beritasore.co.id, Selasa (18/9), mengerucut ke arah dugaan oknum dalam kaitan sengketa lahan di Kec. Batahan, Kab. Mandailingnatal.
Perjalanan jurnalistik waspada.id, beritasore.co.id, manyota.id, waspada.co.id dan hayuaranet.id dilakukan berhari-hari di Pantai Barat Madina.
Camat Batahan Irsal Pariadi berbicara tanpa tedeng aling-aling. Dia menerangkan, ada beberapa orang menjual lahan di Tompek Batahan kepada perusahaan swasta.
Lahan itu, jelas Irsal, bahkan sempat dua kali dijual kepada perusahaan yang sama dengan mengatasnamakan masyarakat.
Di samping itu, lahan tersebut, kata Irsal, ada juga dijual kepada perorangan sehingga bisa disimpulkan, sebagian dari 1.200 hektare lahan tersebut ada yang dijual sampai tiga kali.
“Ternyata, lahan itu juga dijual kepada warga Sidimpuan, Pasaman, Panyabungan,” kata Irsal di ruang kerjanya, Rabu (6/9).
Keberadaan PTPN IV di Kec. Batahan, Kab. Madina menggambarkan kisah yang panjang berasal dari penelusuran dan informasi dari berbagai sumber.
Justru, perusahaan di bawah naungan BUMN bukan hanya tak menyelesaikan pembangunan kebun plasma, tapi juga lahan KUD Pasarbaru Batahan, tetap “berstatus” anak angkat.
Kasus ini bermula saat PTPN IV mengambil alih lahan PT AAN sekira 4.600 hektare pada 2006. Mengetahui hal tersebut, masyarakat komplain dan bereaksi. Pasalnya, saat PT AAN hadir di sana, ada kewajiban memberikan lahan 20% dari total luas lahan dikuasai.
Langkah meredam komplain masyarakat, Pemkab Madina mengeluarkan izin lokasi kepada KUD Pasarbaru Batahan untuk mengelola 3.200 hektare sesuai Surat Bupati Madina Nomor 522/652/Dishut/2007 pada 30 Maret 2007.
Untuk membangun lahan tersebut, PTPN IV ditunjuk sebagai avalis (penjamin). Hal itu tertuang dalam surat perjanjian kerjasama dengan poin utamanya pelaksanaan program revitalisasi pembangunan plasma dengan sistem profit sharing.
Nyatanya, PTPN IV tak mampu menguasai sepenuhnya lahan diambilalih dari PT AAN. Setidaknya, ada 1.200 hektare yang tidak bisa dikuasai. Perusahaan mengambilalih, lahan KUD Pasarbaru Batahan tidak bisa dikuasi PTPN IV. Tindakan ini mendapat penolakan dan perlawanan dari masyarakat.
“Perusahaan tanam sendiri. Ini memang bukan lahan KUD Pasarbaru Batahan, sebutlah tanah negara, tetap salah karena perusahaan tidak punya izin,” kata Ahmad Fathoni, warga Batahan, aktivis dan tokoh masyarakat setempat, Rabu (13/9).
“Seharusnya, perusahaan membantu dan menyelesaikan pembangunan kebun 3.200 hektare, bukan malah menyerobot tanah masyarakat,” tegasnya lagi.
Berdasarkan keterangan Fathoni, saat ini baru 1.700 hektare dari 3.200 hektare yang telah ditanami. Pembangunan plasma bersumber dari dana revitalisasi perkebunan.
Ketidakmampuan menguasai seluruh lahan diambilalih, pihak manajemen menyurati bupati Madina 18 Desember 2007.
Poin kedelapan dalam surat itu berbunyi, “Namun melihat adanya tuntutan KUD Pasarbaru Batahan atas lahan dikuasai PTPN IV, Kebun Balap, maka kami berharap dibicarakan kembali dan dalam penyelesaiannya diperhatikan juga lahan inti berdasarkan izin lokasi diterbitkan Pemkab Madina 2007, yang secara kenyataan tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh PTPN IV”. Surat itu ditandatangani Rediman Silalahi.
Bupati Madina saat itu, Dahlan Hasan Nasution mengeluarkan surat balasan. Pada poin ketiga surat tersebut disampaikan, dalam diktum pertama angka 13 Surat Keputusan Bupati Mandailing Natal Nomor 525.25/158/K/2007 pada 30 Maret 2007.
Terdapat syarat dan ketentuan antara lain, koperasi dan mitra PTPN IV (persero) mengolah sendiri tanah diberi izin lokasi sesuai peruntukannya dan tidak dibenarkan membebaskan tanah di luar areal izin lokasi, memindahtangankan izin lokasi kepada pihak lain tanpa izin berwenang.
Pada poin ketujuh, ditegaskan, meskipun kebun plasma sudah terealisasi di atas 20 persen tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk menjadikan kebun plasma sebagai kebun inti.
Dalam beberapa pertemuan telah dilalui masyarakat, dalam hal ini pengurus dan anggota KUD Pasarbaru Batahan, terungkap, Pemkab Madina tidak pernah memberikan izin kepada pihak lain terkait lahan izinnya dimiliki koperasi.
APK Kebun Balap Rangga menerangkan, perusahaan perkebunan milik pemerintah itu diberikan izin lokasi pada saat lahan dibuka. Lalu, KUD Pasarbaru Batahan mengklaim memiliki izin di lahan yang sama. Namun, Rangga tak melampirkan bukti kepemilikan izin tersebut.
Tak hanya itu, dia pun menyebutkan ada “mafia tanah” di Madina. Hal ini terindikasi dengan adanya tumpang tindih SK dikeluarkan bupati. “Untuk harganya kurang tahu, tapi untuk selisihnya ada karena ada tumpang tindih SK bupati diberikan sama kami waktu itu,” jelasnya, Minggu (17/9).
Keberadaan “mafia tanah” sesuai keterangan mantan Humas PTPN IV Kebun Balap Nopan. Dia menerangkan, sengketa KUD dengan perusahaan terkait lahan 1.200 hektare adalah efek dari aksi “mafia tanah” di areal Tompek. Pihaknya saat ini sedang berupaya mengambil alih kembali lahan tersebut.
“Ya. Upaya (pengambilalihan) itu ada. Kemarin kami kurang dukungan. Ini sensitif karena melibatkan beberapa oknum,” katanya dihubungi melalu sambungan tekepon seluler, Kamis (14/9). Direncanakan, investigasi lanjutan dilakukan di Pantai Barat Madina beberapa hari ke depan. (irh)