MEDAN (Berita): Sejumlah jurnalis di Sumatera Utara, khusunya Medan menolak
Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran karena dianggap sebagai produk kemunduran demokrasi.
Mereka menggelar unjuk rasa di depan gedung DPRD Sumatera Utara menolak RUU Penyiaran itu Selasa (21/5/2024). Tidak hanya di Sumut, penolakan yang berujung unjuk rasa juga marak di berbagai daerah di Indonesia.
Massa berunjuk rasa itu terdiri dari berbagai organisasi Pers antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumut, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut hingga pers mahasiswa. Bergiliran, massa menggelar mimbar bebas. Menyuarakan tuntutan menolak RUU Penyiaran yang dinilai sesat.
“Kita hadir di sini untuk memperjuangkan hak publik atas informasi,” ujar Array A Argus, perwakilan dari AJI Medan.
Rancangan Undang-undang Penyiaran terus menghangat dalam diskusi-diskusi jurnalis. Beleid undang-undang ini kompak ditolak, karena dinilai sebagai produk kemunduran demokrasi.
Jika kelak disahkan, Undang-undang penyiaran bukan menjadi pelindung. Justru regulasi ini menjadi penghambat kerja-kerja jurnalistik. Sebut saja Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.
Penolakan santer dilakukan di sejumlah daerah. Tak terkecuali di Sumatra Utara yang dilakukan oleh kelompok Jurnalis Anti Pembungkaman.
1. RUU Penyiaran diduga sengaja diselundupkan bohir
Dalam orasinya, Array juga menyentil soal dugaan RUU Penyiaran sarat dengan kepentingan politik yang begitu kuat. Para jurnalis khawatir, RUU Penyiaran adalah kepentingan para bohir politik untuk membungkam pers.
“Kita patut curiga, siapa sebenarnya bohir RUU Penyiaran ini? Kita khawatir, ini adalah ajang penyelundupan kepentingan bohir politik untuk membungkam jurnalis,” kata Array.
2. Ada upaya mengembalikan masa kelam orde baru bagi pers
Ketua AJI Medan Christison Sondang Pane dalam orasinya juga mengungkapkan,RUU Penyiaran adalah bentuk upaya pemerintah mengembalikan masa kelam orde baru. Di masa orde baru, pers mengalami ancaman serius dari pemerintah. Sejumlah media dibredel karena dinilai menjadi ancaman.
“Hari ini merupakan bulannya era reformasi pada 1998 lalu. Kita menolak RUU Penyiaran karena sarat dengan cara-cara orde baru melakukan pembungkaman terhadap dunia pers,” ungkapnya.
Sebenarnya, kata Tyson, RUU Penyiaran hanyalah satu dari sekian banyak regulasi yang mengancam jurnalis. Sebut saja ada Undang-undang Cipta Kerja, hingga KUHP baru yang memuat pasal-pasal mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
3. Para jurnalis akan terus melakukan perlawanan jika tidak ada sikap tegas dari pemerintah
Aksi unjuk rasa semula tidak mendapat respon dari DPRD Sumut. Selang beberapa saat, satu orang anggota DPRD Sumut, Rahmansyah Sibarani. Dalam tanggapannya, Rahmansyah tidak memberikan sikap apapun. Dia juga meminta maaf kepada awak media, karena hanya satu anggota DPRD yang menemui massa.
Rahmansyah bilang, pihaknya akan menjadwalkan pertemuan dengan para jurnalis, membahas tuntutan terkait RUU Penyiaran.
“Hari senin pukul 15.00 WIB, kami mengundang abang kakak jurnalis untuk datang,” kata Rahmansyah.
Sementara itu, Christison mengatakan, para jurnalis akan terus melakukan perlawanan, sampai ada sikap yang tegas dari pemerintah dan legislatif, membatalkan isi RUU penyiaran yang mengancam kerja-kerja jurnalistik.
“RUU menyesatkan ini harus kita lawan. Kita melawan segala bentuk upaya yang membuat demokrasi kita semakin mundur,” pungkasnya.
(rel/wie)