Ilustrasi
MADINA (Berita): LBH Madina Yustisia akan membawa persoalan ini ke ranah hukum dan melaporkannya ke pihak kepolisian dengan menggandeng lembaga-lembaga pegiat lingkungan hidup yang ada di Indonesia.
Lembaga Bantuan Hukum Mandailingnatal (LBH Madina) Yustisia menemukan dugaan alih fungsi lahan melibatkan “mafia tanah” dalam kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bintuas Kec. Natal, Kab. Mandailingnatal.
Demikian Ketua LBH Madina Yustisia Ali Isnandar, SH, MH yang juga merupakan penduduk asli Desa Bintuas dalam keterangan pers resmi kepada wartawan dalam perjalanan jurnakistik di pantai barat, Senin, (13/9/).
“Kami meyakini data-data yang kami peroleh sudah lebih dari cukup untuk membawa persoalan ini ke ranah hukum dalam waktu dekat, khusus untuk kasus ini kami akan beraliansi dengan lembaga-lembaga pegiat lingkungan hidup yang ada di Indonesia karena pengrusakan lingkungan dan hutan telah menjadi isu global yang saat ini perlu disikapi bersama,” ucap Ali.
Menurut penelusuran hukum dilakukan LBH Madina Yustisa terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang memuat larang dan sanksi pidana pengrusakan kawasan hutan, salah satunya pasal 17 ayat 2 huruf b junto pasal 92 ayat 1 huruf a UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang berbunyi :
“Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin
Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”
Ali mengatakan, kasus ini akan selalu dikawal oleh lembaganya hingga tuntas sampai pelaku mendapat hukuman dan lahan tersebut kembali ke negara.
Menurutnya, lembaga dipimpinnya saat ini telah mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat yang memiliki tujuan yang sama untuk mengembalikan fungsi kelestarian hutan ke pangkuan negara, sebagaimana seharusnya di sana tempat berkembang biaknya ekosistem flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk asli masyarakat Desa Bintuas.
Lembaga Bantuan Hukum Mandailingnatal (LBH Madina) Yustisia menemukan dugaan alih fungsi lahan melibatkan “mafia tanah” dalam kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bintuas Kec. Natal, Kab. Mandailingnatal.
Demikian Ketua LBH Madina Yustisia Ali Isnandar, SH, MH yang juga merupakan penduduk asli Desa Bintuas dalam keterangan pers resmi kepada wartawan dalam perjalanan jurnakistik di pantai barat, Senin, (13/9/).
Berdasarkan hasil investigasi dilakukan LBH Madina Yustisia, ratusan hektar hutan dialihfungsikan berstatus hutan produksi konversi (HPK) sesuai peta SK Menhut No. 44 Tahun 2005 Jo. Peta SK. Menhut No. 579 Tahun 2014 Jo. Peta SK- Men-LHK No. 8088/Men-LHKkp tahun 2018.
Ali Isnandar mengatakan, alih fungsi kawasan hutan tersebut dilakukan oleh penduduk bukan berasal dari Desa Bintuas.
“Dapat dipastikan, tidak satu pun di antara mereka (penduduk luar) itu ada mengantongi izin alih fungsi kawasan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ucap Ali.
Kegiatan perkebunan sawit ilegal tersebut menurut Ali sudah berlangsung sejak 2008 hingga sekarang, secara diam-diam dilakukan pelaku dan bekerjasama dengan oknum dan segelintir warga ikut terlibat di dalamnya.
Ali mengaku, pihaknya telah mengantongi nama-nama pelaku sudah mengalihfungsikan kawasan hutan tersebut menjadi perkebunan sawit milik pribadi.
Selain itu, dia juga mengaku sudah memperoleh bukti-bukti kuat berupa peta kawasan hutan dan surat ganti rugi diduga telah dipalsukan oknum “mafia tanah”.
Bahkan,l dia mengklaim telah menemui beberapa warga Desa Bintuas yang namanya ikut dicaplok sebagai pihak penjual di dalam surat keterangan ganti rugi milik pelaku.
“Mereka (warga luar) telah menghilangkan sumber kehidupan masyarakat dengan merambah hutan dan menanami sawit secara ilegal hingga ratusan hektar, bahkan dengan cara memalsukan tandatangan penduduk asli yang sama sekali tidak tau-menahu, dan ada juga tandatangan orang yang sudah mati diduga ikut dipalsukan,” ujjar Ali.
beritasore/Ist
LBH Madina Yustisia Ali Isnandar, SH, MH
Tidak tanggung-tanggung, bahkan menurut Ali, ada satu kelompok keluarga di luar desa telah menguasai 122 Ha lahan hutan bermodalkan surat ganti rugi palsu . Keluarga tersebut dikatakan bukan warga Desa Bintuas melainkan berdomisili di Medan, sementara menurut Ali masyarakat asli desa menjadi tersingkir dan kehilangan sumber kehidupan akibat alih fungsi hutan dilakukan warga luar secara besar-besaran.
Menurut Ali, pemanfataan kawasan hutan seharusnya adalah hak masyarakat sekitar kawasan/desa setempat untuk memungut hasil hutan hingga melakukan perladangan secara tradisional untuk keperluan sendiri (non komersil), bukan untuk dimanfaatkan warga lain apalagi dilakukan tanpa periizinan yang resmi.
LBH Madina Yustisia akan membawa persoalan ini ke ranah hukum dan melaporkannya ke pihak kepolisian dengan menggandeng lembaga-lembaga pegiat lingkungan hidup yang ada di Indonesia.
“Kami meyakini data-data yang kami peroleh sudah lebih dari cukup untuk membawa persoalan ini ke ranah hukum dalam waktu dekat, khusus untuk kasus ini kami akan beraliansi dengan lembaga-lembaga pegiat lingkungan hidup yang ada di Indonesia karena pengrusakan lingkungan dan hutan telah menjadi isu global yang saat ini perlu disikapi bersama,” ucap Ali.
Menurut penelusuran hukum dilakukan LBH Madina Yustisa terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang memuat larang dan sanksi pidana pengrusakan kawasan hutan, salah satunya pasal 17 ayat 2 huruf b junto pasal 92 ayat 1 huruf a UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang berbunyi :
“Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin
Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”
Ali mengatakan, kasus ini akan selalu dikawal oleh lembaganya hingga tuntas sampai pelaku mendapat hukuman dan lahan tersebut kembali ke negara.
Menurutnya, lembaga dipimpinnya saat ini telah mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat yang memiliki tujuan yang sama untuk mengembalikan fungsi kelestarian hutan ke pangkuan negara, sebagaimana seharusnya di sana tempat berkembang biaknya ekosistem flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk asli masyarakat Desa Bintuas.
Ketika dikonfirmasi Camat Natal Ali Sahbana Nasutiona, menyatajan tidak mengwtahui. “Maaf,tidak tahu. Kita klarifikasi bersama ya pada Kades,” ujar camat Natal. (irh)