BALI (Berita): Presiden Republik Indonesia kelima Prof. Dr. (H.C) Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri menerima penghargaan tertinggi dari federasi untuk organisasi profesi keinsinyuran se-Asean (AFEO).
Yakni AFEO Distinguished Honorary Patron, yaitu penghargaan tertinggi dari AFEO untuk Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang telah berjasa besar terhadap profesi keinsinyuran. Sebelumnya pada 2019, Presiden RI Ke-7 Joko Widodo juga mendapat penghargaan serupa.
Penghargaan itu diberikan secara langsung dalam acara pembukaan Conference of the AFEO (CAFEO) Ke-41 di Bali, Rabu (22/11/2023). Megawati hadir didampingi Sekertaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga anggota Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII) Hasto Kristiyanto.
Di acara itu, mewakili Presiden Joko Widodo, hadir Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Hadir juga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Lebih dari 1000 orang insinyur anggota AFEO juga hadir, dipimpin Ketuanya Danis Hidayat Sumadilaga bersama Sekretaris Jenderal AFEO Mohd. Khir Bin Muhammad IEM.
Sebagai tanda penghargaan, Megawati dikalungi sebuah medali dan mendapat sertifikat pengakuan. Sesudahnya, Megawati di panggung untuk menyampaikan kata sambutan.
Di awal, Megawati mengatakan dirinya sungguh merasa terhormat, dan mengucapkan banyak terima kasih atas pemberian penghargaan tersebut.
“Penghargaan ini bukanlah sekadar pengakuan terhadap kebijakan yang pernah saya ambil sebagai Presiden Kelima RI.
Hal yang terpenting bagi saya, bahwa penghargaan ini mengandung makna tentang pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, riset, dan inovasi, serta profesi keinsinyuran bagi kemajuan bangsa,” kata Megawati.
Megawati mengaku dirinya pribadi tidak asing dengan profesi ini.
“Sebab saya ini sebenarnya “Calon Insinyur”. Hanya saja akibat peristiwa politik 1965, saya beserta kakak dan adik saya, tidak boleh lagi bersekolah.
Namun jangan juga dilupakan, bahwa Bapak saya sendiri, Bung Karno juga seorang insinyur,” ujar Megawati.
Megawati mengatakan bahwa profesi keinsinyuran terbukti memiliki peran yang sangat penting di dalam membangun peradaban umat manusia.
Di Indonesia misalnya, dapat dilihat rekam jejak Ir. Soekarno, Ir. Djuanda, Ir. Soetami, Ir. Roeseno, Ir. Silaban, Ir. Soedarsono, Prof. Dr. BJ Habibie, dll.
“Para insinyur tersebut merupakan sosok visioner yang memahami apa yang dibutuhkan negeri. Mereka sosok teknokratik berdisiplin tinggi, pekerja keras, dan pendeknya, hadir sebagai insinyur yang sangat mumpuni,” tandasnya.
Pada bagian lain pidatonya, Megawati mengatakan profesi Insinyur juga butuh pemahaman filsafat, sistem politik, hingga pemahaman tentang rakyat dan bangsanya.
Megawati mengaku dirinya sangat tertarik dengan cara berpikir insinyur. Sebab insinyur selalu melihat persoalan yang kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana atas pendekatan analitis yang mengedepankan inovasi.
Insinyur juga berpikir secara kreatif, terintegrasi, dan digerakkan oleh kemampuan profesional di dalam setiap karyanya.
“Insinyur selalu menerapkan prinsip penyederhanaan dan melihat berbagai opsi guna memutuskan mana yang paling feasible, dan sekaligus memberikan manfaat nyata bagi manusia,” kata Megawati.
Megawati mengaku memahami hal itu setelah melihat sang ayah, Proklamator dan Presiden pertama RI yang merupakan insinyur, Soekarno.
Seorang insinyur selalu kokoh dalam disiplin ilmunya, melihat praksis sosialnya, dan bagaimana peran pentingnya dalam transformasi kemajuan bangsa.
Bung Karno, menurut Megawati, adalah sosok yang detail, membumi dan visoner.
Dalam setiap kesempatan kunjungan ke luar negeri, Bung Karno selalu mendorong kerjasama pengiriman para pemuda Indonesia ke luar negeri untuk menguasai ilmu-ilmu dasar, dan ilmu-ilmu Teknik.
Megawati lalu bercerira pengalaman saat Juni 1956, Bung Karno ke Jerman. Di sana, Putra Sang Fajar menegaskan bahwa kemajuan bangsa Jerman hanya bisa terjadi karena kemampuan para insinyurnya yang begitu berdisiplin di dalam mengembangkan ilmu teknik.
“Bung Karno menyebut Jerman sebagai Bumi Penemuan. Ada cerita yang menarik. Saat itu ada seorang profesor Jerman ahli metalurgi yang bertemu dengan Bung Karno.
Profesor ini mempelajari kandungan logam yang ada di keris. Semua sudah diketahui, namun ketika mau membuat keris seperti yang kita punya, ternyata tidak berhasil.
Pertanyaan profesor tersebut ke Bung Karno, apa yang salah ? Yang salah adalah karena kamu bukan orang Indonesia,” urai Megawati.
Demikian pula ketika berkunjung ke Tiongkok pada Oktober 1956, Bung Karno berpidato di hadapan rakyat Tiongkok dan menegaskan bahwa sebagai seorang insinyur, Beliau bertugas membangun gedung dan jembatan.
Hanya saja yang kini dibangun adalah “Jembatan Persahabatan” dengan bangsa Tiongkok.
Dari situ, Megawati menilai para insinyur memiliki daya imajinasi tentang masa depan.
Daya imajinasi inilah yang juga dimiliki Bung Karno, yang membayangkan bangunan Indonesia Raya yang harus berdiri kokoh.
Fondasi ini berakar kuat ke buminya Indonesia, dan lahir sebagai kristalisasi seluruh falsafah, nilai-nilai, dan hakekat tentang makna dan tujuan berbangsa-bernegara.
“Fondasi bangunan Indonesia Raya inilah yang dikenal dengan Pancasila,” kata Megawati.
“Belajar dari Bung Karno, menjadi insinyur saja tidak cukup, diperlukan pemahaman terhadap filsafat, sistem politik, sistem ekonomi dan kebudayaan serta pemahaman holistik tentang rakyat, Tanah Air, dan bangsa,” pungkasnya. (iws)