Mengungkap Keterlibatan Oknum Sengketa Lahan 1.200 Ha Batahan

  • Bagikan

beritasore/Ilustrasi

 

MADINA (Berita): Sengketa lahan 1.200 hektare di kawasan Tompek, Kec. Batahan, Kab. Mandailingnatal, merugikan KUD Pasar Baru Batahan.

Perjalanan jurnalistik di Pantai Barat Madina jilid 2 waspada.id, beritasore.co.id dan tiga media lain, Selasa (12/9) sampai Kamis (14/9), menunjukkan persoalan sengketa lahan 1.200 ha di kawasan Tompek, Kec. Batahan, makin terang-benderang, makin “menyeramkan”, mengindikasikan
melibatkan sejumlah oknum, mulai dari tokoh masyarakat, pengusaha dan pejabat daerah.

Akibat ulah “mafia tanah” itu, lahan KUD Pasar Baru Batahan ‘diserobot’ “perusahaan raksasa berplat merah” sekira 1.200 hektare. Hal tersebut terjadi diduga karena perusahaan berada di bawah naungan BUMN tak berhasil menguasai lahan di Tompek meskipun telah mengeluarkan biaya Rp7 miliar saat pengambilalihan (take over) dari perusahaan swasta pertengahan 2000-an.

beritasore/Ist

Ahmad Fathoni, warga Batahan, aktivis dan tokoh masyarakat setempat.

Dugaan itu disampaikan Ahmad Fathoni, salah satu warga Batahan, aktivis dan tokoh masyarakat setempat ketika diwawancarai di salah satu warung kopi di Batahan.

“Itu kemarin sudah dijelaskan pemerintah kabupaten, tidak pernah ada izin lain dikeluarkan di lokasi yang 3.200 hektare selain ke KUD Pasar Baru Batahan,” katanya terkait “perusahaan raksasa berplat merah” disebut menyerobot 1.200 hektare lahan KUD.

Kasus ini bermula saat “perusahaan plat merah” mengambil alih (take over) lahan milik perusahaan swasta pertengahan 2000 di dua hamparan. Saat itu, kata dia, perusahaan milik pemerintah mengambil alih 4.600 hektare, tapi 1.200 dari lahan itu disebut berada dalam penguasaan “mafia tanah”.

“Lahan yang ini (Tompek) setelah take over dari statusnya kemudian kadastral untuk dinaikkan izinnya, tapi izin HGU tidak keluar karena di lapangan ternyata dikuasi masyarakat, ada tumpang tindih kepemilikan,” terangnya.

Bersamaan dengan take over “perusahaan raksasa” milik negara, Bupati Madina mengeluarkan izin lokasi kepada KUD Batahan 3.200 hektare berbatasan dengan Kebun Balap milik PTPN IV. Lahan tersebut disiapkan sebagai lokasi pembangunan plasma oleh perusahaan plat merah itu dengan model kemitraan.

Namun, belakangan, hanya ditanami sekira 1.700 hektare, sisanya 1.200 hektare ‘diserobot’ “perusahaan berplat merah”, dan sekira 400 hektare lainnya bersengketa karena tumpang tindih kepemilikan.

Mantan Humas Kebun Balap PTPN IV Nopan menerangkan, sengketa KUD dengan perusahaan terkait lahan 1.200 hektare adalah efek dari aksi “mafia tanah” di areal Tompek. Pihaknya saat ini sedang berupaya mengambil alih kembali lahan tersebut.

“Ya. Upaya (pengambilalihan) itu ada. Kemarin kami kurang dukungan. Ini sensitif karena melibatkan beberapa oknum, oknum Pemkab juga ada,” katanya dihubungi melalu seluler, Kamis (14/9).

Dia menjelaskan, ketika hal tersebut berhasil akan ada opsi pengembalian tanah kepada masyarakat. “PTPN IV akan menyelesaikan ini sampai clear,” jelasnya.

Terkait dugaan penyerobotan tanah, pria yang saat ini bertugas di wilayah Ranto tidak memberikan jawaban jelas. “Itu bukan ranah saya menjelaskannya karena bukan pengambil kebijakan,” terangnya.

Sementara itu, bagian SDM PTPN IV yang juga merupakan Humas ketika dihubungi menyanggupi untuk memberikan jawaban, tapi sampai berita ini dirilis jawaban konfirmasi yang dikirim sejak Kamis (14/9) pukul 08.00 WIB tak juga diterima redaksi.

Sebelumnya, Camat Batahan Irsal Pariadi menerangkan, ada beberapa orang menjual lahan di Tompek kepada perusahaan swasta. Lahan itu, jelas Irsal, bahkan sempat dua kali dijual kepada perusahaan yang sama dengan mengatasnamakan masyarakat.

Di samping itu, lahan tersebut juga dijual kepada perorangan sehingga bisa disimpulkan, sebagian dari 1.200 hektare itu ada yang dijual sampai tiga kali. “Ternyata lahan itu juga dijual kepada warga Sidimpuan, Pasaman, Panyabungan,” kata Irsal di ruang kerjanya, Rabu (06/9).

Dalam areal tersebut, ada sekira 400 hektare yang menimbulkan sengketa panjang di tengah-tengah masyarakat. Sesuai kesepakatan bersama diputuskan 168 hektare distanvaskan. Namun, hingga hari ini menjelang satu tahun sejak status stanvas dikeluarkan belum ada penyelesaian lebih lanjut.

Sengketa berlarut-larut ini telah merugikan banyak pihak, utamanya masyarakat, baik secara materil maupun moril. Beragam cara telah ditempuh masyarakat, termasuk menghubungi presiden Republik Indonesia, tapi belum membuahkan hasil. (irh)

 

beritasore/Ist

Ahmad Fathoni, warga Batahan, aktivis dan tokoh masyarakat setempat.


 

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *