JAKARTA (Berita): Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Mahfuz Sidik mengatakan, Partai Gelora saat ini tengah membedah peta kekuatan politik tiga pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Peta kekuatan politik yang dibedah merupakan titik-titik hotspot yang akan menentukan suara kemenangan di Pilpres 2024 seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta.
“Hari ini kita membedah Jawa Tengah, berikutnya Jawa Timur, Jawa Barat dan seterusnya. Wilayah tersebut, menjadi titik hotspot, titik-titik panas kontestasi yang akan menentukan Pilpres 2024,” kata Mahfuz Sidik saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talks bertajuk ‘Adu Kuat di Jawa Tengah : Ganjar Vs Gibran, Rabu (22/11/2023) di Jakarta
Di Jawa Tengah, kata Mahfuz, peta kekuatan politik masih didominasi pasangan Ganjar-Mahfud dan mesin politik PDIP.
Namun, kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto, setidaknya mulai membawa perubahan peta politik.
“Gibran yang dianggap mewakili basis massa Pak Jokowi di Pilpres 2019, akan berhadap-hadapan dengan basis mesin PDIP dan ketokohan Ganjar. Ini sejauh mana pengaruhnya,” ujar Mahfuz.
Sementara untuk kekuatan politik di wilayah lainnya di Pulau Jawa, tentu akan memiliki peta kontestasi yang berbeda, namun hasil akhirnya tetap menentukan suara kemenangan di Pilpres 2024.
“Tetapi ketika menyimak dari beberapa lembaga survei, ada tren peningkatan elektablitas pasangan Prabowo-Gibran.
Sebaliknya pasangan Ganjar-Mahfud dalam beberapa hari terakhir mengalami tren penurunan,” ungkapnya.
Sebagai orang lapangan, lanjut Mahfuz, ia paham banyaknya variabel yang mempengaruhi fluktuasi elektabilitas seorang kandidat seperti instrumen teritorial dan kekuatan mesin politik partai.
“Jadi untuk memenangkan Pilpres ini, bukan hanya aspek komunikasi atau permainan opini saja, tapi banyak variabel yang mempengaruhi fluktuasi elektabilitas pasangan calon. Ini semua yang akan menentukan hasil akhir,” katanya.
Gibran Efek
Sementara itu, peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby mengatakan, LSI Denny JA telah melakukan survei nasional mengenai potret perkembangan pasangan calon pada 6-13 November lalu.
“Yang menarik dan mengejutkan adalah adanya perubahan-perubahan elektabilitas di ketiga capres.
Prabowo-Gibran tren angkanya naik dari survei sebelumnya dari 36 persen naik menjadi 40 persen,” kata Adjie Alfaraby.
Sedangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD secara mengejutkan mengalami penurunan sekitar 6 persen dari 35 persen ke 28,6 persen.
Lalu, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengalami kenaikan dari 15 persen ke 20 persen.
“Catatan kita, bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan deklarasi Prabowo Gibran, lalu munculnya kritik-kritik soal hukum, demokrasi, isu dinasti dan lain-lain, ternyata tidak punya implikasi serius.
Atau tidak punya efek elektoral negatif kepada pasangan Prabowo-Gibran,” ungkapnya.
Bahkan dari data yang lain seperti data ‘people rating’ atau kepuasan publik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga terkonfirmasi, tidak terganggu isu-isu negatif pasca putusan MK yang marak belakangan ini.
“Dalam perkembangan dinamika itu, kita menemukan data yang berbeda sedikit dengan SMRC. Jawa Tengah bisa kita buat breakdown, meski masih butuh survei khusus, tetapi dari gambaran itu terlihat ada Gibran efek,” katanya.
Efek Gibran ini, lanjut Adjie, terkait langsung dengan Jokowi, karena dianggap punya kedekatan secara langsung.
“Jadi di Jawa Tengah ini ada perubahan. Di bulan sebelumnya, September 2023, saat itu Pak Prabowo kalah telak dengan Ganjar sekitar 70 persen dan Prabowo sekitar 10,2 persen.
Namun, sebulan kemudian ada kenaikan elektalibitas Pak Prabowo dari 10 persen naik ke 24 persen,” jelasnya.
Dengan temuan ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada efek dari pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo, karena dianggap sebagai kelanjutan Jokowi.
“Dukungan Pak Jokowi pada Pilpres lalu, di Jawa Tengah sekitar 77 persen itu, cukup signifikan. Ketika kemudian publik melihat asosiasi yang akan melanjutkan Pak Jokowi ini adalah Gibran, maka secara perlahan dan pasti, ada pergeseran pemilih yang cukup besar dari sebelumnya ada di Ganjar beralih ke Prabowo,” katanya.
Namun, hal ini dibantah oleh peneliti SMRC Saidiman Ahmad. Saidiman mengakui, memang ada pergeseran pemilih Ganjar ke Prabowo di Jawa Tengah, namun itu tidak besar dan tidak signifikan.
“Artinya, pencalonan Gibran belum membawa perubahan yang besar di Jawa Tengah.
Suara Ganjar tetap tinggi, dibandingkan Prabowo, karena didukung PDIP yang merupakan basisnya di Jawa Tengah,” kata Saidiman.
Berdasarkan survei SMRC, kata Saidiman, publik juga tidak mengetahui, bahwa Gibran yang menjabat sebagai Wali Kota Solo saat ini, adalah putra Presiden Jokowi, yang mengetahui hanya kalangan tertentu saja.
“Jadi dari survei kita, ternyata Gibran itu kurang dikenal, meski dia anak Pak Jokowi. Berbeda dengan Ganjar, ketokohannya sangat dikenal, dia mantan gubernur Jawa Tengah dua periode,” katanya.
Selain itu, menurut Saidiman, kehadiran Gibran di Jawa Tengah juga belum membawa efek siginfikan secara elektoral, karena dukungan Presiden Jokowi masih belum jelas, apakah mendukung Prabowo-Gibran atau Ganjar-Mahfud.
“Kalau kita lihat dukungan Pak Jokowi itu masih terbagi dua ke Prabowo dan Ganjar, karena sikapnya Pak Jokowi ini masih belum jelas, masih mendua membuat pemilih Pak Jokowi bertahan di Ganjar,” katanya.
Karena itu, apabila ingin suara Jokowi sekitar 77 persen pada Pilpres 2019 lalu, beralih dari Ganjar ke Prabowo, maka Presiden Jokowi harus mengkampanyekan secara langsung pasangan Prabowo-Gibran.
“Tapi kan itu tidak mungkin, karena Pak Pak Jokowi seorang Presiden yang harus netral. Makanya kita yakin suara Pak Jokowi di Jawa Tengah tetap ke Ganjar, apalagi didukung PDIP yang menjadikan Jawa Tengah sebagai basis massanya,” pungkas Saidiman. (aya)