JAKARTA (Berita): Menteri Koperasi dan UKM (Menkop dan UKM) Teten Masduki pesimis target kredit perbankan 30 persen ke UMKM bakal tercapai di 2024. Meskipun kebijakan tersebut berasal dari Presiden Joko Widodo.
“Saya yakinkan itu enggak akan tercapai. Hari ini saja baru sekitar 21-22 persen kredit bank yang mengucur ke UMKM,” ungkapnya di acara UMKM Digital Summit 2023 di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Menurutnta, hal ini tidak akan tercapai karena kredit perbankan masih mewajibkan pelaku UMKM memiliki agunan untuk mendapatkan pinjaman.
“Sampai kuda bisa menari pun enggak mungkin bisa dilakukan (UMKM meminjam ke perbankan, red),” imbuh Teten.
Sehingga, lanjutnya, banyak negara yang mencari solusi dengan teknologi digital agar angka kredit perbankan untuk UMKM bisa meningkat.
Teten menyebut, negara-negara ini akhirnya menerapkan credit scoring, bukan lagi pendekatan kolateral seperti harus ada agunan dalam bentuk aset dan sebagainya.
“Konsep agunan juga berkembang bukan hanya aset. Jadi kalau masih aset terus ya ini bank atau Pegadaian ini, kan numpuk-numpuk aset, untuk apa kalau usahanya juga macet? Kan kreditnya juga macet,” ujar Teten.
Maka dari itu, pihaknya mendorong pelaku UMKM bermigrasi ke ekosistem digital agar memudahkan setidaknya untuk pencatatan keuangannya itu menggunakan aplikasi.
“Sehingga, jika nanti pendekatannya berubah menjadi credit scoring, kesehatan usaha para pelaku UMKM serta rekam jejak digitalnya bisa terdeteksi,” jelas Teten.
Menurutnya, pelatihan digital di Indonesia yang diberikan e-commerce pun lebih menyasar pada strategi penjualan.
Alih-alih meningkatkan digitalisasi produksi dan peningkatan daya saing produk UMKM.
“Paling UMKM itu dilatih teman-teman platform e-commerce foto-fotoin produk. Itu hanya strategi marketing, bukan untuk meningkatkan daya saing,” kilahnya.
Teten menyebut, kenyataan seperti itu yang menjadi titik lemah perkembangan transformasi digital Indonesia yang membuat UMKM kerap kalah bersaing dengan China.
Dia pun membandingkan dengan transformasi digital di China yang lebih dominan diterapkan pada sektor manufaktur.
Digitalisasi di sektor hulu, membuat China lebih mampu memproduksi barang lebih efisien dan berkualitas.
“Adapun di Indonesia, adopsi teknologi digital dianggap masih rendah dalam aktivitas produksi oleh UMKM.
Karena itu, transformasi digital Indonesia belum mampu melahirkan ekonomi baru;” tandas Teten.
Dia menuturkan, tidak seimbangnya digitalisasi antara sektor hulu dan hilir hanya akan mengurangi kue ekonomi yang bisa dinikmati UMKM.
Transformasi digital di hilir dianggap hanya melahirkan banyak pedagang baru yang kemudian menjadi pesaing pedagang lama.
“Contohnya, maraknya penjual baru bermunculan di e-commerce telah menggerus roda ekonomi pelaku UMKM di Pasar Tanah Abang.
Mereka di bunuh secara pelan pelan oleh orang-orang yang punya duit jadi seller atau jualan, gak kas
ihan ,” keluh Teten. (agt)