JAKARTA (Berita): Anggota Fraksi PKB DPR RI Syaiful Huda memastikan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 akan berpotensi terjadi dua putaran.
Politisi PKB itu memperkirakan, proses yang hampir pasti penyelenggaraan putaran kedua pilpres.
“Mau tidak mau KPU dan Pemerintah harus sudah siap dari sekarang,”ungkapnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Peran DPR Kawal Tahapan Pemilu Usai Pendaftaran Capres’ di Media Center Parlemen, Jakarta, Kamis (26/10).
Menurut Syaiful, pada konteks tahapan menjelang pilpres, konfigurasi tiga koalisi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 akan mempengaruhi sikap dan kebijakan 9 fraksi yang ada di DPR RI dalam menjalankan tiga fungsi kedewanannya yaitu fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi legislasi.
“Perlu dipastikan dalam konteks konfigurasi yang semacam ini, saya kira kita semua sudah bisa membaca potensi untuk dua putaran pasti terjadi.
Karena itu kalau dalam masa kampanye, masa tenang, ada agenda di mana mendorong proses ini hanya satu putaran, saya kira perlu dipertanyakan,”ujarnya.
Syaiful Huda berharap di masa kampanye ini semua gagasan terbaik dari tiga paslon ini harus mendapatkan ruang sebaik baiknya, jadi diskusi yang produktif, supaya kita menaikkan level politik kita yang sangat pragmatis kita lambungkan pada politik yang sesungguhnya, yaitu soal agenda perjuangan, agenda perbaikan dan agenda perubahan kedepan.
“Karena itu sejelek apapun program, akan didorong dalam masa kampanye oleh tiga pasangan itu menurut saya, akan lebih baik timbang kita terjebak pada politik pragmatisme.
Siapa yang disokong oleh logistik dan institusi kekuasaan yang lalu yang akan menjadi pertimbangan rakyat untuk memilih, itu tidak produktif.
Karena itu pada tahapan kampanye ini kita berharap politik gagasan dari masing-masing calon.
Kita beri ruang seluas-luasnya dan saya mengajak semua pihak punya komitmen yang sama menyangkut soal ini.
‘Supaya sekali lagi politik kita tidak terjebak pada pragmatisme dan berbagai potensi yang lain, kita dorong saja proses politik itu beradu argumen dan gagasan politik.
Kemudian tahap yang ke-3 dalam masa tenang, kita bisa punya masa tenang yang semoga benar-benar tenang, tidak ada aktivitas politik, tidak ada instrumen apapun yang memanfaatkan masa tenang, malah menjadi ruang untuk konsolidasi.
“Masa tenang di mana kita memberikan ruang pada masyarakat untuk memifikirkan atas berbagai argumen, gagasan selama masa kampanye, untuk diserap dan direfleksikan dalam masa tenang dan di situ tidak boleh ada aktivitas politik apapun.
Pada konteks ini saya kira menjadi pertaruhan pilpres 2024, karena banyak pihak yang menengarai berbagai potensi yang bisa saja off side untuk memanfaatkan berbagai instrumen dan berbagai resource yang dimiliki oleh masing-masing paslon.
Tahapan pemilihan, kita berharap, semua instrumen penyelenggara KPU dan Bawaslu mengambil peran semaksimal mungkin, signifikan mungkin dalam proses pemungutan suara ini.
“Kami meyakini, ketika proses tahapan kampanye masa tenang tidak tercederai proses demokrasi saya meyakini, partisipasi publik bisa melampaui 80%.
Ini akan menjadi catatan sejarah kita ketika partisipasi publik menjadi sangat tinggi dalam pilpres 2024,”kata Syaiful.
Syaiful berharap para politisi DPR semestinya tetap menggunakan asas objektifitas. “Jadi apakah DPR masih bisa objektif secara institusi ?
Semestinya DPR harus tetap menggunakan asas objektivitas, dalam melihat empat tahapan yang akan kita lalui ini.
Yaitu tahapan penetapan calon, kampanye masa tenang, masa pemilihan dan sampai nanti proses yang hampir pasti penyelenggaraan putaran kedua pilpres,” ujar Syaiful.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah mengusulkan agar idealisme dan gagasan berpikir politisi di DPR tidak terpasung oleh partai politik yang diwadahi, maka sebaiknya tidak perlu ada lagi fraksi di DPR.
Dengan demikian yang ada hanya partai politik yang mampu mengantarkan kadernya ke Senayan meskipun hanya satu orang.
Sebab, diadakannya fraksi untuk membatasi banyaknya jumlah partai yang lolos ke DPR.
“Karena prinsipnya voting itu cuma dua, setuju dan nggak setuju, di tambah abststain. Kan tinggal dibagi begitu saja, kenapa mesti ada fraksi dan segala macam,” ujarnya.
Fahri mencontoh, kapasitas dan kompetensi seorang Gede Pasek Suardika dari Bali yang dengan kerja keras dan kemampuan memimpinnya bisa mendirikan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
“Gede Pasek dari Bali. Dia maju di Bali, terpilih di Bali. Biarin aja dia sendiri di sini (di DPR) kalau PKN-nya nggak lolos threshold.
Nggak ada kesulitannya juga mengelola partai yang banyak di parlemen. Jadi bubarkan itu fraksi kalau kita mau,” tegas Fahri.
Oleh karena itu, mantan Ketua DPR RI ini mengatakan sebaiknya perlu dilakukan revisi Undang-Undang dengan menghapus presidential threshold maupun parliamentary threshold.
Agar kedepannya tidak ada lagi aturan yang membatasi seseorang yang cakap, kompeten dan teruji layak menjadi pemimpin untuk tampil baik menjadi Presiden maupun Anggota DPR RI.
“Jadi hapuslah threshold dalam UU Pemilu, presidential threshold dan parliamentary threshold.
Hilangkan itu biarkan siapapun yang sampai Senanyan ini, seperti anggota DPRD ngga perlu pakai threshold, satu orang lolos, satu orang di sini (DPR),” tegas Fahri.(rms)