Bukan hanya kekuasaan yang tidak abadi. Dukungan rakyat kepada pemimpin, seperti terhadap Presiden bahkan Raja sekalipun, tak ada yang bersifat abadi.
Peradaban tidak pernah menciptakan ruang dan waktu untuk menjaga kekuasaan seorang pemimpin maupun dukungan rakyat terhadap kekuasaannya yang bersifat abadi. Hanya pergantian dan perubahan yang abadi selalu terjadi.
Kenyataan lah yang menjadi faktor penentu jangka waktu kesetiaan dan dukungan rakyat kepada pemimpinnya.
Melalui rekayasa dan tekanan apa pun dari penguasa, ketika rakyat dihadapkan pada realita yg sangat buruk, rakyat melawan dan berontak adalah sebuah keniscayaan.
Hal ini sering dimaknai sebagai hukum alamnya kehidupan di seputar dunia politik dan kekuasaan.
Tidak perlu membuka sejarah masa lalu yang terlalu jauh untuk memahami kebenaran akan hukum tersebut.
Buat masyarakat Indonesia, peristiwa runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru sudah sangat lebih dari cukup untuk dijadikan rujukan yang membenarkan hukum alamnya dunia politik dan kekuasaan sebagaimana ilustrasi di atas.
Bila sekarang begitu cepat fatsun politik ini dilupakan oleh para pemimpin kita, bisa dimaklumi.
Salah satu sebabnya karena kedigdayaan dunia sosial media lewat kemajuan teknologi informasi yang begitu canggih dan luar biasa hebatnya, telah merasuk ke tulang sungsumnya peradaban kehidupan manusia hari ini. Kehidupan di era millenial ini, teknologi informasi telah berhasil menghadirkan ‘realita’ di atas realita.
Realita dalam kehidupan nyata, seringkali terkaburkan dan bahkan terdilusi oleh ‘realita’ yang dihadirkan oleh para perakit ‘realita’ di dunia sosial media.
Tidak mengherankan bila upaya memperkuat pasukan buzzer menjadi ujung tombak politik terdepan yang dilakukan oleh para penguasa belakangan ini.
Karena dalam politik, pencitraan dan citra adalah ‘realita’ yang dimaknai sebagai fakta politik. Kebenaran bisa sedemikian rupa diputarbalikan oleh rekayasa pencitraan.
Pembenaran terhadap hal yang tidak benar sekalipun, dilakukan tanpa pijakan moral yang seharusnya.
Antara data dan manipulasi data sudah saling tumpang tindih dan sulit dibedakan ketika pembenaran dijadikan pijakan moral kerja politik di dunia sosial media.
Bagi rakyat kebanyakan yang tak akrab dengan kedigdayaan dunia teknologi informasi, pasti lah menjadi korban paling pertama.
Celakanya para korban ini merupakan mayoritas rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan kepada para pemimpin lewat Pemilu daerah maupun nasional di setiap pesta demokrasi digelar.
Tidak mengherankan bila muncul sejumlah pemimpin abal-abal. Di daerah maupun di pusat hadir sejumlah pemimpin yang ‘under capacity’ dan bahkan lebih parah lagi.
Seorang pedagang yang tega menjual negara pun, dimunculkan dengan wajah seorang pembela hak rakyat dan negara.
Bahkan tidak sedikit dari mereka dihormati sebagai negarawan bahkan pahlawan, tanpa tanda kutip.
Bisa terjadi ketika kebenaran dan pembenaran bisa diolah lewat sosial media yang belakangan hadir sebagai ‘al kitab’nya kehidupan dunia politik dan ‘condensed democrazy’ dalam peradaban di era millenial ini.
Ketika ‘realita’yang dihadirkan oleh sosial media menjadi rujukan utama publik memahami tentang realita.
Tidak perlu heran bila kebohongan demi kebohongan dihembuskan secara masiv oleh mereka yang tengah merakit pembenaran lewat dunia sosial media.
Tugas mereka yang berkuasa dan menguasai data plus informasi, hanya menutup kran informasi dan data agar tak mudah diakses oleh publik.
Salah satu fenomena yang sangat menonjol, yang terkait dengan catatan di atas, adalah peristiwa kelahiran Undang-Undang Cipta Kerja baru-baru ini.
Kisruh dan heboh yang mengundang kerusuhan cukup meluas baru-baru ini, seebenarnya suatu hal yang tidak perlu terjadi.
Asal saja para pemimpin rakyat mau meninggalkan fatsun politik yang diajarkan oleh tokoh propaganda Nazi Hitler, tuan Goebels, yang mengajarkan metode propaganda…’seribu kali kebohongan ditebarkan, satu hari ia akan hadir sebagai kebenaran..!’
Fatsun politik propaganda ala Goebels’ ini, eranya sudah usang. Pada saat fatsun politik propaganda ini diperkenalkan, Goebels tidak pernah membayangkan perkembangan dunia teknologi informasi yang mampu melakukan pencucian otak publik dengan lebih cepat, efektiv, dan dahsyat.
Sementara perangkat komunikasi yang ditawarkan oleh perkembangan teknologi informasi, menjadikan masyarakat kelas menengah sebagai pangsa pasar terbesar.
Nah, di ruang kehidupan kelas menengah yang lebih cepat melek teknologi informasisi ini lah, terjadi polarisasi kekuasaan di bidang penguasaan data dan informasi.
Data dan informasi tidak mungkin lagi bisa dikuasai dan dimonopoli oleh hanya sebuah institusi maupun kelompok dan individu, sekalipun mereka dalam posisi sebagai penguasa negara.
Maka penggelapan data dan informasi oleh penguasa yang masih asyik terbuai oleh fatsun politik ala Goebels, pasti terhenyak bangun dari mimpi ketika arus perdaban kehidupan baru ala millenial yang serba terbuka dan membuka, menyerang mereka.
Ketuk palu para wakil rakyat yang terjadi dalam ‘kegelapan’ sidang paripurna DPR saat mengesahkan UU Cipta Kerja (yang konon masih dalam kualitas ‘semi final), merupakan presentasi paling nyata atas seluruh ilustrasi sebagaimana terurai di atas.
Dimana realita dan kebenaran yang hadir lewat pembenaran mendapatkan perlawanan dari mereka yang menyajikan realita lewat data dan informasi yang mewakili realita dalam kehidupan nyata.
Sebagai akibat, gagasan menghadirkan Omnibus Law yang konon bertujuan mulia, nyaris dan berpotensi kandas di tengah jalan.
Hanya disebabkan oleh perilaku politik yang sembrono dan tidak menghormati realita dalam peradaban baru pada era millenial ini.
Pak Jokowi yang konon menawarkan Omnibus Law dengan niatan mulia dan sangat positiv, hanya karena kesalahan melakukan proses komunikasi politik dari para penunjang kekuasaannya, membuat pak Jokowi malah hadir sebagai ‘Omnibus permasalahan’.
Sialnya, ketika sejumlah kelemahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dibombardir sejumlah kritik dan masukan oleh para aktivis buruh, pegiat lingkungan, sejumlah akademisi, para mahasiswa-pelajar yang turun ke jalan, jagat penguasa lebih memilih senyap dan sepi akan jawaban.
Padahal para pelaku penggugat UU Cipta Kerja, secara publik dan terbuka, menunjuk keberpihakan pemerintah dan para wakil rakyat dalam sejumlah pasal UU Cipta Kerja yang lebih berat memenangkan kepentingan fihak para investor dan pemilik modal, ketimbang pro kesejahteraan rakyat.
Kalau toh telaah dan reaksi para penentang dinyatakan tidak benar dan ‘salah faham’ sehingga melahirkan ‘faham yang salah’, mengapa fihak DPR dan Pemerintah tidak ada yang tampil secara meyakinkan untuk mematahkan ‘ketidakbenaran’ dimaksud.
Bila yang ramai mendukung UU Cipta Kerja lebih nyaring disuarakan oleh para pengusaha dan para pemimpin di Kamar Dagang Indonesia, jelas masyarakat yang kritis malah bertambah merasa dilecehkan dan semakin membuat suasana semakin memanas.
Sebaliknya membungkam suara rakyat (walau sebagian) dengan tindakan represive dalam bentuk penangkapan para aktivis dan provokator sekalipun, bukan lah merupakan jalan ke luar yang menyelesaikan masalah.
Mau mendengar, saling koreksi, saling mengakui kelemahan dan kekuatan masing-masing dengan sikap rendah hati oleh mereka yang pro dan kontra, merupakan satu-satunya jalan ke luar yang terbaik.
Di sini lah kepemimpinan yang arif dan bijaksana dihadapkan pada ujian yang sangat menentukan perjalanan bangsa ke depan.
Sikap Jumawa penguasa di satu sisi, dan Anarkisme di sisi lain yang konon dilakukan oleh sejumlah fihak yang kontra UU Cipta Kerja, bukan sikap dan perilaku yang diharapkan oleh perjalanan bangsa ini ke depan ! Masing-masing pihak saatnya menahan diri.
Dan kepada para penguasa, tolong garis bawahi dengan tebal kalimat yang mensitir fatwa bahwa; Tidak ada kekuasaan yang abadi.
Begitupun tidak ada dukungan rakyat kepada pemimpinnya yang bersifat abadi.
Karena rakyat hanya setia pada kenyataan – realita yang mereka rasakan dan hadapi sehari-hari ! (Watyutink.com)