MEDAN (Berita): Di luar ekspektasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat pada perdagangan hari ini, Rabu (22/4).
Pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benyamin kepada Berita Rabu (22/4) menyebut IHSG bergerak anomali dengan tidak mengikuti pola pergerakan kinerja indeks bursa global yang rata-rata diperdagangkan melemah pada perdagangan hari ini.
“Tren belanja di IHSG justru terjadi disaat semua pihak mengkuatirkan adanya potensi pelemahan akibat terpuruknya harga minyak mentah dunia,” katanya.
Memang, di saat IHSG mengalami penguatan, justru bursa lainnya bergerak turun. Dan disaat yang bersamaan indeks futures bursa di AS berbalik menguat.
Namun pelemahan yang terjadi di Dow Jones sebelumnya yang turun signifikan, sebelumnya dikuatirkan akan memberi tekanan pada IHSG. Namun, pada hari ini, ekspektasi kebanyakan analis terbantahkan.
“Dan saya menilai apa yang terjadi pada IHSG saat ini sebagai sebuah keberuntungan,” ujarnya. Pada dasarnya secara teknikal, jelas Gunawan, IHSG juga berpotensi melemah.
Namun sayangnya, indikator teknikal tersebut justru memberikan indikasi penguatan terbatas di perdagangan besok setelah penguatan signifikan pada perdagangan hari ini.
Pada hari ini, IHSG mampu ditutup menguat 1,45 persen di level 4.567,56. Disisi lain mata uang tupiah relatif menguat di kisaran level 15.450 per dolar AS.
Masih ada sedikit waktu bagi rupiah untuk bergerak sore ini. Meskipun IHSG harus ditutup lebih awal selama Covid-19.
Namuna penguatan pasar keuangan besok masih terbuka seandainya bursa di AS dan Eropa juga tidak dalam tren turun.
Ia memaparkan pada minggu awal April 2020 sampai 9 April 2020, rupiah jatuh di level Rp16.000-an.
Masuk minggu ketiga April, pada perdagangan Senin, 13 April 2020, rupiah kembali menguat di bawah Rp16.000 per dolar AS (Rp5.800/Dolar AS).
Menurut dia, penguatan rupiah ditopang oleh sejumlah berita baik, diantaranya adalah kemungkinan gelontoran stimulus yang akan dilakukan oleh AS seiring dengan peningkatan jumlah angka pengangguran, serta kebutuhan dana dalam menanggulangi penyebaran corona dan dampak buruknya terhadap ekonomi.
Namun diluar itu, pemerintah Indonesia juga melakukan sejumlah upaya untuk membuat likuiditas atau ketersediaan valas di dalam negeri meningkat.
Sejumlah upaya yang dilakukan diantaranya adalah dengan menerbitkan global bond atau sovereign bond sebesar 4,3 miliar dolar AS yang nantinya akan mendongkrak cadangan devisa ke level 125 miliar dolar AS.
Bank Dunia (world bank), ADB (Asian Development Bank), dan Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB) juga berencana meminjamkan uang sebesar 7 miliar dolar AS ke Indonesia.
Belum lagi rencana IMF yang akan memberikan bantuan kepada negara anggotanya termasuk Indonesia. Jelas utang tersebut nantinya akan membuat pasokan valas di tanah air mengalami peningkatan.
Belum lagi Repo Line dari Bank Sentral AS yang bisa dipakai kapan saja saat dibutuhkan. Menurut penilaian saya, Indonesia tengah melakukan apapun agar Krisis yang pernah kita alami tidak terulang.
Pelaku pasar diyakinkan dengan kemampuan kita menghadapi tekanan pasar keuangan. Mulai dari pengelolaan fiscal yang hati hati, hingga menambah beban utang.
Disisi lain, katanya, untuk meredam gejolak Rupiah, intervensi Rupiah tidak selamanya bisa diharapkan.
Tanpa ada aliran valas dalam bentuk apapun (seperti utang, perjanjiaan swap, hingga REPO), intervensi Rupiah hanya akan membuat kepercayaan investor terhadap republik ini memudar.
Semakin sering diintervensi, maka semakin cepat krisis moneter itu terjadi.
Yang menjadi persoalan adalah, negara lain besar kemungkinan juga melakukan hal yang sama untuk menambah pasokan valasnya dan menggelontorkan stimulus fiskal maupun moneter untuk memerangi virus corona serta memperbaiki dampak buruk dari corona itu sendiri.
“Tetapi, bagaimana seandainya corona ini tidak terselesaikan dalam 3 hingga 5 bulan ke depan,” ungkapnya.
Bagaimana seandainya ada pandemi corona kedua yang lebih parah dari yang terjadi saat ini. Dan jika nantinya dunia usaha tidak kunjung membaik.
Lantas apa manfaat uang baik itu dari stimulus fiscal, moneter, hingga utang. Tanpa ada dunia usaha yang hidup, uang yang banyak beredar akan menjadi penyakit bagi masyarakat.
Bentuknya krisis ekonomi. “Kalau pemerintah saya yakin memahami masalah ini. Tapi masyarakat tidak semuanya paham,” ujarnya.
Perlu dibangun kesadaran akan adanya kemungkinan terburuk. Masyarakat harus diajak untuk ikut terlibat memberikan kontribusi.
Jalan yang paling mudah adalah mentaati aturan social distancing, memakai masker, hingga penggunaan hand sanitizer.
Jika semua masyarakat mematuhi, potensi penyebaran corona bisa diminimalisir, maka ketergantungan kita akan utang juga semakin kecil.
“Karena masalah fundamental ekonomi dunia itu adalah corona. Menambah utang ini hanya bentuk reaksi negara dalam memerangi corona,” katanya. (Wie)