Terlena dan tertidurnya kaum Nasionalis Indonesia yang begitu panjang, ternyata telah menghadirkan mimpi buruk dan tumpukan awan hitam yang menyelimuti kehidupan kita sebagai bangsa.
Dalam seruan ini, sengaja saya gunakan terminologi ‘Nasionalis Indonesia’, tentu dengan maksud tertentu.
Setidaknya untuk memperjelas bahwa Nasionalisme Indonesia, lahir dan tumbuhnya berawal dan selalu berada dalam semangat kejuangan melawan berbagai bentuk penjajahan, ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan.
Bukan yang chauvinistis, bukan yang ekspansionis, bukan yang feodalis, dan dipastikan anti Kapitalisme-Imperialisme.
Nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme yang humanis dalam semangat kebangsaan yang berkarakter sebagai bangsa pejuang.
Dalam kaitan ini, substansi Nasionalisme Indonesia sebagaimana dimaksud, tidak ada kaitannya dengan ribuan kibaran bendera merah banteng yang kehadirannya cenderung hanya mewakili kepentingan sejumlah parpol dan ormas tertentu.
Karena mayoritas dari mereka terbukti lebih hanya mengagungkan Nasionalisme yang serba simbolik.
Sehingga sekalipun kemenangan politik diraih lewat pesta demokrasi pada Pemilu (elitis) selama ini, tidak serta merta diiringi oleh diraihnya kemenangan ideologi.
Sebaliknya, malah bisa terjadi kemenangan politik ini justru mengantar pada kekalahan ideologis, dalam konteks cita-cita dan tujuan perjuangan kaum Nasionalis Indonesia secara substansi.
Itulah sebabnya mengapa hari ini kita sebagai bangsa menjadi tidak jelas di mana dan di atas nilai apa kita berpijak, kemana melangkah, dan capaian apa yang akan dituju.
Terbukti di tengah berkuasanya kaum banteng yang diidentikkan dengan kumpulan kaum Nasionalis, bangsa ini justru tengah kehilangan identitas, jati diri, dan karakter sebagai bangsa pejuang yang patriotik dan pro rakyat.
Tentunya sebagai bangsa pejuang dengan kejelasan nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan oleh peradaban para leluhur dan para pendiri bangsa.
Dalam ruang lingkup yang sederhana, perhatikan saja penampilan para perempuan Indonesia di hampir seluruh pelosok tanah air.
Kehadiran wanita berkain dan berkebaya dengan keindahan berkerudung yang pernah menjadi ciri khas perempuan Indonesia, nyaris punah tak terlihat jejak peninggalannya sedikit pun.
Atas nama akidah kekinian yang ditanamkan begitu masif, tertata dan terencana, maka berpakaian yang lebih menampilkan uniformitas (regimentasi) yang menghilangkan keragaman kekayaan cara berbusana para perempuan di bumi Nusantara, terlenyapkan.
Padahal sejak dulu, dari para nyai, istri para kiai dan ulama sekali pun, juga para ibu, berkerudung dan berkebaya sebagaimana yang sampai hari ini Ibu Sinta Nuriyah Wahid (istri almarhum Gus Dur) kenakan, merupakan busana keseharian yang mereka gunakan.
Andai sejak dulu berpakaian seperti yang digunakan Ibu Shinta Wahid tidak pas, atau menyalahi akidah, niscaya para ulama sekelas Buya Hamka, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asyhari, sudah dengan keras angkat bicara.
Tapi karena para ulama tersebut memahami benar perbedaan antara agama dan kebudayaan secara fasih, maka mereka lebih menekankan bahwa kehidupan yang berakhlak mulia menjadi rujukan utama mereka.
Bukan yang serba simbolik, tanpa makna dan perilaku manusia beragama sebagaimana diharapkan.
Apakah salah berbusana sesuai pilihan pribadi dan keyakinan berikut kenyamanan pribadi ?
Ya jelas tidak ! Namun dalam kaitan perjuangan menanamkan nilai-nilai dalam kehidupan, jelas merupakan sebuah fakta yang dapat dijadikan ukuran.
Salah satunya adalah ukuran bagaimana kaum Nasionalis Indonesia berada dalam keadaan zero gerakan dan upaya, bahkan kesadaran bahwa mempertahankan jati diri kebudayaan bangsa merupakan bagian yang sangat penting bagi siapa pun yang mengaku dirinya seorang Nasionalis Indonesia sejati. Suatu kekalahan yang telak dan substantif !
Belum lagi ketika kehidupan di negeri ini mulai diramaikan oleh berbagai konflik yang ditimbulkan oleh beda pandangan, keyakinan, dan cara menjalankan ibadah melalui kepercayaan dan keyakinan masing-masing agama yang dipeluknya.
Kaum Nasionalis Indonesia tidak mengambil sedikit pun peran untuk bersikeras mempertahankan kehidupan kerukunan beragama antara umat beragama yang oleh para pendiri Republik dititipkan pada kita sebagai bangsa.
Dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan menggelar doa bersama antar para pemuka dari berbagai agama (simbolik). Penekanan saya lebih pada perjuangan ideologis!
Lebih konyolnya lagi ketika terjadi manuver politik (ideologi) yang dengan sengaja memisahkan garis demarkasi antara ‘kaum agamis’ dan ‘kaum nasionalis’, para pemimpin di barisan Nasionalis Indonesia malah larut dalam politik segregasi tersebut.
Padahal Bapak Nasionalisme Indonesia, Bung Karno, menegaskan bahwa kita kaum Nasionalis Indonesia hanya akan bisa menjadi kaum Nasionalis Indonesia sejati bila ia berketuhanan, beragama, dan hidup saling berdampingan dalam perbedaan keyakinan dan agama.
Bukan malah turut memperuncingnya hanya sekadar demi memperlebar dan memperbesar ruang dukungan politik publik. Konyolnya dengan mengorbankan satu thesis yang bersifat esensial dan wajib dipertahankan, yakni; Rakyat Indonesia hanya Satu; di mana kata Rakyat diawali dengan huruf besar (kapital) ‘R’. Tidak ada R-1, R-2, R-3, R Islam, R Kristen, Budha, Hindu dan seterusnya!
Di sisi lain, di wilayah perekonomian bangsa, kaum Nasionalis Indonesia yang seharusnya berdiri di garda terdepan dalam menjaga dan menjalankan amanat UUD’45, terkhusus Pasal 33 UUD’45, tragisnya bermodalkan kekuatan politik yang dimilikinya, malah bergabung memperkuat barisan Oligarki yang menggerogoti dan menghapus UUD’45 Pasal 33, demi kepentingan kelompoknya.
Tanah, air, dan kekayaan seisinya milik bumi negeri ini yang seharusnya diperuntukkan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, hari ini hanya dimiliki oleh segelintir manusia.
Mereka adalah para konglomerat yang bekerjasama dengan penguasa korup dan telah berhasil mencengkeramkan kuku mereka sehingga gerak perekonomian bangsa sepenuhnya berada dalam kendali mereka.
Akan hal ini, para pemimpin yang selalu tampil mengusung benderanya kaum Nasionalis Indonesia, malah bangga menjadi kompradornya mereka, para penghisap darah dan kekayaan rakyat.
Bahkan tidak malu-malu dan terang-terangan membela kepentingan mereka demi jabatan politik agar langgeng dan tetap berada dalam genggamannya.
Yang menyedihkan adalah etos kerja politiknya..; yang penting berkuasa, walau tanpa penguasaan dan menguasai apa-apa.
Inilah kumpulan Kaum Nasionalis yang menurut saya, meminjam istilah Bung Karno, Kaum Nasionalis SONTOLOYO !
Dari catatan yang saya sodorkan untuk membuka langkah kita memasuki tahun 2021 ini, jelas diperlukan kesadaran dan kebangkitan kaum Nasionalis Indonesia untuk kembali kepada jati dirinya sebagai komunitas kaum pejuang, para patriot humanis yang berketuhanan.
Tanpa kesadaran dan hadirnya kebangkitan ini, Indonesia hanya akan menjadi kenangan dan masa lalu, bisa menjelma menjadi sebuah keniscayaan.
Thesis saya membuka kehidupan Indonesia di tahun 2021 ini sangat jelas; Tanpa kesadaran dan terwujudnya kebangkitan kaum Nasionalis Indonesia; ya kaum Marhaenisnya, kaum Nahdliyin, Muhammadiyah, Kristen, Budha, Hindhu, Kepercayaan dan seterusnya.
Yang sadar akan pentingnya menghidupkan kembali roh dan semangat Nasionalisme Indonesia, kita sebagai bangsa hanya akan berjalan di jalan yang sesat dan kalah!
Bila ingin sampai pada tujuan cita-cita Indonesia MERDEKA, kobarkan api, roh, dan semangat Nasionalisme Indonesia, Insya Allah Indonesia akan benar-benar MERDEKA dalam capaian kerja politik-ekonomi-sosial budaya dan ideologi yang bersifat substantif !
Kaum Nasionalis Indonesia harus berdiri di barisan perekat dan perajut kehidupan yang beradab, berkarakter, berbudaya, humanis, bersatu dan menyatu dalam barisan Rakyat dengan huruf kapital ‘R’ besar. Bukan sebaliknya ! Selamat Tahun Baru 2021. (Watyutink.com )