MEDAN ( Berita ) :Perkembangan anak akan terhambat karena mengonsumsi informasi yang tidak sesuai usianya. Meski demikian, media sebenarnya memiliki pengaruh positif bagi anak, seperti bisa belajar bahasa Inggris dengan mencontoh apa yang dilihatnya di televisi.
Hal itu mengemuka dalam webinar Eksploitasi Anak Di Media yang dilaksanakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Medan Area (Fisipol UMA), Selasa (15/6).
Webinar ini digelar terkait sinetron yang dihentikan penayangannya karena terindikasi mengeksploitasi anak.
Hadir sebagai pembicara Rony Agustino Siahaan Universitas Multimedia Jakarta, Rita Pranawati, MA Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rehia Karenina Isabella Barus, S.Sos, MSP Dosen Fisipol UMA.
“Sejak kehadirannya, media sebenarnya sudah menjadi ancaman. Namun dalam studi media akan selalu ada dampak positif dan negatif,” ujar Rony Agustino Siahaan dalam acara yang dibuka Rektor UMA Prof Dr Dadan Ramdan, M.Eng M.Sc dan dihadiri Dekan Fisipol UMA Dr Heri Kusmanto, MA.
Rony mengemukakan, fungsi televisi bagi anak-anak ada beberapa hal seperti kenikmatan pasif, informasi yang mereka dapat tanpa mereka cari.
Selain itu sebagai fungsi utulitas yakni untuk bahan obrolan dengan sesama mereka, serta fungsi mengarahkan energinya untuk berfantasi.
Menurutnya televisi ditempatkan secara sosial kultural di tengah masyarakat untuk berada di tengah-tengah keluarga.
Di dalam siarannya, televisi tidak seluruhnya berisi tentang tayangan untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa.
“Televisi pada awalnya memproduksi untuk anak, tapi ternyata tidak menguntungkan secara finansia.
Namun ketika tayangan televisi dikemas dalam bentuk kebutuhan keluarga, maka jadi lebih menguntungkan.
Anak-anak menonton tontonan orang dewasa karena orangtuanya suka nonton suatu siaran seperti sinetron,” ungkap Rony.
Dalam hal eksploitasi anak, menurut Rony karena para orangtua gampang sekali silau dengan uang dan ketenaran.
Sehingga anak-anak kehilangan ruang privasi dan mereka bukan pihak pengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya.
“Pertanyaannya adalah apakah sama mengeksploitasi anak dengan mempekerjakan anak ?,” tanya Rony.
Dia kemudian menjawabnya dengan mengambil contoh kasus Amerika Serikat, di mana ada pengecualian pekerja anak di media.
“Untuk seni, pekerja anak pengecualian terhadap eksploitasi. Jadi media tidak bisa dituntut oleh Undang-Undang ketenagakerjaan, tapi secara etis, sebenarnya orangtua bisa dituntut.
Sayangnya di Indonesia tidak pernah ada yang menuntut sehingga tidak pernah ada yurisprudensi hal ini,” ucapnya.
Sementara Rita Pranawati memaparkan bahwa jumlah anak di Indonesia 84 juta atau sepertiga dari jumlah penduduk.
“Setiap anak berhak mendapatkan informasi yang layak baik lisan maupun tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak,” ujarnya seraya menegaskan bahwa yang disebut anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun.
Menurutnya, prinsip perlindungan anak meliputi non diskriminatif, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang, dan partisipasi anak.
“Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) prinsipnya restorative justice, dengan tidak mencantumkan nama pelaku, nama orang tua dan pekerjaannya, alamat rumah secara lengkap, nama dan alamat sekolah, wajah pelaku/korban/saksi, lingkungan anak,” jelasnya.
Anak juga tidak bisa diperkerjakan secara sembarangan. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi peryaratan seperti izin tertulis dan perjanjian kerja dengan orangtua/wali.
Waktu kerja maksimul 3 jam, dilakukan siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja, serta adanya hubungan kerja yang jelas, dan menerima upah dengan ketentuan yang berlaku.
“Kesehatan dan keselamatan menjadi kata kunci, dengan tidak membahayakan fisik dan psikis,” sebut Rita.
Sedangkan Rehia Barus menekankan bahwa ibu rumah tangga adalah sebagai gatekeeper informasi bagi keluarga.
“Ibu rumah tangga adalah salah satu elemen masyarakat yang paling dominan berperan dalam keluarga,” tandasnya.
Dia memaparkan penggunaan yang over used dan under used oleh ibu rumah tangga.
“Permasalahannya adalah penggunaan media oleh ibu, mestinya ibu sebagai media literasi bagi keluarganya.
Namun dalam kenyataannya, para ibu over used media, secara terus menerus menshare hal-hal privasi dalam keluarganya,” sebut Rehia.
Dalam over used media, para ibu sering melakukan sharenting seperti dengan mengunggah tumbuh kembang anak melalui media sosial dengan motif kesenangan, untuk mengarsip dokumen keluarganya dan untuk berbagi informasi.
“Konten yang dishare akan membuka informasi tentang anak sehingga privasi anak akan hilang.
Hasrat ingin dipuji melalui sharenting akan berujung pada eksploitasi anak karena ada hubungan subordinasi antara orangtua dan anak.”
Sedangkan fenomena under used media terjadi di masyarakat di pedesaan yang tidak bisa menggunakan gedget sama sekali. Namun anak-anaknya memiliki smartphone dan terkoneksi secara digital.
“Dalam hal ini orangtua tidak bisa memantau informasi apa yang sudah dikonsumsi anak-anaknya.
Ini membuat ancaman terselubung berupa kekerasan dan eksploitasi seksual baik terhadap anak laki-laki dan perempuan berpotensi menjadi korban pelaku kejahatan,” katanya.( Dede )