JAKARTA (Berita): Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pada tahun 2025 jumlah utang pemerintah yang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun, terdiri dari jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun.
Jumlah tersebut naik signifikan jika dibandingkan dengan posisi utang jatuh tempo pada tahun ini yang sebesar Rp 434,20 triliun, dengan rincian jatuh tempo SBN Rp371,8 triliun dan pinjaman Rp 62,49 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, bahwa kenaikan utang jatuh tempo yang signifikan disebabkan kenaikan utang yang ditarik untuk kebutuhan penanganan pandemi Covid-19.
“Saat pandemi Covid-19, dibutuhkan anggaran sekitar Rp1.000 triliun untuk belanja tambahan pada saat penerimaan negara mengalami penurunan dalam,” ungkap Menkeu dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Senin (10/6/2024).
Sementara itu, utang jatuh tempo juga tercatat tinggi pada 2026 dan 2027, yang masing-masingnya mencapai Rp 803,19 triliun dan Rp802,61 triliun.
Dengan demikian, utang jatuh tempo pemerintah pada 3 tahun mendatang tembus Rp2.405 triliun.
Menkeu mengatakan, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI), atas persetujuan Komisi XI DPR RI, sepakat untuk melakukan burden sharing atau pembagian beban untuk mendanai belanja penanganan Covid-19.
“Komisi XI, Pak Perry [Gubernur BI], dan kita setuju menggunakan burden sharing. Burden sharing menggunakan SUN yang maturitasnya maksimum 7 tahun,” jelas Menkeu.
Sri Mulyani menuturkan, pihaknya saat kembali menjadi Menteri Keuangan pada periode sebelumnya juga sempat menghadapi tingginya utang jatuh tempo dalam setahun, tapi tetap dapat terkelola dengan baik.
“Kita bisa selalu smoothing out. Kemampuan menteri keuangan untuk bisa smoothing mengurangi jumlah yang jatuh tempo, berdasarkan kemampuan reprofiling, berdasarkan surat berharga yang jatuh tempo,” tuturnya.
Namun, lanjutnya, hal ini hanya bisa dilakukan dengan market yang tetap bisa menganggap dan melihat secara teliti mana instrumen yang menguntungkan mereka, mana yang dari Kemenkeu yang juga prudent, itu semua berdasarkan market base, terangnya.
Menkeu menegaskan, bahwa utang jatuh tempo yang tinggi tidak menjadi masalah selama persepsi investor atau pasar terhadap kondisi APBN, kebijakan fiskal, ekonomi, dan politik di dalam negeri tetap baik.
Dengan kondisi ekonomi yang baik dan politiknya juga stabil, imbuhnya, maka dapat dipastikan risiko dari utang jatuh tempo sangat kecil.
“Concern mereka [investor] terhadap pengelolaan APBN, terhadap pengelolaan utang, itu menentukan kemampuan kita terus melakukan pengelolaan revolving risk, currency risk, dan maturity risk, relatif smooth,” imbuhnya. (Agt)