MEDAN (Berita) : Berinvestasi di pasar modal dengan membeli saham, surat utang, atau reksa dana, menjadi aktivitas yang kian digemari para investor muda saat ini.
Kepala Perwakilan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara Muhammad Pintor Nasution Senin (29/3/2021) mengatakan kesadaran para milenial untuk mempersiapkan dana investasi mulai terbangun dan ikut dipicu oleh maraknya informasi di sosial media.
Viralnya investasi yang dilakukan para influencer di pasar modal semakin membuat anak-anak muda tergerak mengikuti aktivitas ini. Namun, perlu diingat, tidak semua orang bisa mengikuti strategi investasi para influencer tersebut.
“Sebelum berinvestasi, setiap calon investor harus mengetahui profil risiko masing-masing,” kata Pintor.
Ada tiga jenis profil risiko investor, yaitu konservatif, moderat, dan agresif. Masing-masing profil risiko ini tidak bisa disamakan dalam memilih instrumen investasi.
Jadi, kalau kita ingin mengikuti gaya dan pilihan investasi dari para influencer, kita harus mencari tahu terlebih dahulu profil risiko yang kita miliki dan mencocokkan dengan profil risiko para pesohor tersebut.
“Sebab, strategi investasi dan produk investasi yang dipilih bisa berbeda antara satu investor dengan investor lainnya yang memiliki profil risiko berbeda,” jelasnya.
Bagaimana cara mengetahui profil risiko kita? Salah satu caranya adalah melalui kuesioner yang bisa diisi oleh calon investor yang biasa disiapkan oleh perusahaan sekuritas ketika seorang investor hendak membuka rekening efek.
Seperti diketahui, pembukaan rekening efek dilakukan sebelum investor bisa bertransaksi saham. Hal ini sama seperti ketika seorang nasabah hendak membuka rekening di bank.
Jika skor kuesioner menunjukkan tipe konservatif, artinya investor ini adalah tipe yang cenderung menghindari risiko tinggi, sebab, investor tipe ini cenderung kurang siap menerima risiko kehilangan modal investasi.
Karakter investor ini membutuhkan hasil investasi yang stabil dengan jangka waktu yang cenderung singkat (sekitar satu tahun).
Produk investasi konservatif memiliki preferensi risiko yang rendah dan return atau hasil investasi yang juga relatif rendah namun stabil.
Jika kita termasuk kategori konservatif, maka sebaiknya menghindari investasi pada produk saham yang risikonya relatif tinggi dan nilainya lebih fluktuatif.
Contoh produk investasi yang cocok untuk tipe konservatif, antara lain, surat utang negara dan obligasi korporasi yang jatuh tempo pembayaran pokoknya kurang dari setahun. Investor konservatif juga dapat mengalokasikan dana ke deposito perbankan.
Investor yang berikutnya memiliki karakter investasi moderat. Secara umum, investor jenis ini lebih berani menerima risiko kerugian dari dana investasi, namun di satu sisi juga mengharapkan potensi keuntungan yang lebih tinggi daripada produk konservatif.
Jika kuesioner menunjukkan Anda adalah investor dengan toleransi risiko moderat, maka Anda sebaiknya memilih instrumen investasi dalam kurun waktu menengah, antara 1-3 tahun atau lebih.
Produk investasi moderat meliputi saham-saham blue chip yang fluktuasi harganya relatif stabil, dikombinasikan dengan surat utang negara dan obligasi korporasi.
Tipe investor yang paling berpotensi memperoleh keuntungan besar di masa depan adalah tipe investor agresif atau disebut juga risk taker.
Investor jenis agresif cenderung lebih siap menanggung risiko kehilangan modal investasi sampai 100%, tetapi juga mengharapkan potensi keuntungan yang sangat tinggi.
Dengan moto “high risk, high return”, investor jenis ini siap berinvestasi dalam jangka panjang, yakni 3-5 tahun atau lebih. Sebab, semakin panjang jangka waktu investasi pemodal yang agresif, semakin besar pula peluang mendapatkan potensi keuntungan yang lebih tinggi.
Sebaliknya, jika jangka waktu investasi pendek, kemungkinan kehilangan modal pun akan lebih besar, seiring dengan tingginya risiko investasi yang dihadapi.
Produk investasi yang cocok bagi investor yang agresif cenderung memiliki volatilitas harga yang lebih tinggi pula.
Investor jenis ini dapat memilih saham-saham blue chip atau saham lapis pertama (saham perusahaan-perusahaan besar) yang dikombinasi dengan saham-saham lapis kedua, yaitu saham-saham perusahaan dengan size menengah dan yang sedang bertumbuh atau ekspansi.
Saham lapis kedua berpotensi mengalami kenaikan harga yang tinggi seiring peningkatan kinerja perusahaan dan minat investor.
Selain mengatur jangka waktu berinvestasi, investor juga dapat melakukan manajemen risiko dengan cara melakukan diversifikasi, yaitu membeli lebih banyak jenis instrumen investasi.
Sebab, berinvestasi pada satu instrumen investasi lebih berisiko dibanding berinvestasi pada 5-10 saham. (wie)