London (Berita) : Selama pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, sangat banyak kerugian yang ditimbulkan, terutama ekonomi.
Banyak orang yang kehilangan pendapatan karena dirumahkan oleh perusahaan atau bisnis yang gulung tikar sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Di sisi lain, jumlah orang kaya dan super kaya di dunia ini justru menanjak di tengah gempuran wabah virus corona.
Ketimpangan ini khusus disorot oleh Oxfam, sebuah lembaga organisasi amal asal Inggris, saat menghadiri pertemuan rutin tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2022 di Davos .
“Pandemi telah menjadi kekayaan miliarder,” kata Direktur Eksekutif Internasional Oxfam, Gabriela Bucher dalam sebuah wawancara, dilansir dari laman Associated Press, Senin (17/1/2022).
“Ketika pemerintah melakukan paket penyelamatan dan memompa dana hingga triliunan ke ekonomi serta pasar keuangan untuk mendukung ekonomi, apa yang terjadi adalah banyak dari langkah tersebut masuk ke kantong para miliarder,” sebutnya.
Oxfam dalam laporan berjudul “Time to Care” menjelaskan bahwa gap antara si kaya dan si miskin semakin jauh. Banyak indikator yang menunjukkan ketimpangan itu disampaikan Oxfam dalam laporannya. Beberapa di antaranya adalah:
Fakta pertama, jumlah miliuner dunia pada 2019 jumlahnya mencapai 2.153 orang. Walau jumlahnya sedikit ternyata kekayaan mereka melebihi kekayaan 4,6 miliar orang di dunia.
Padahal populasi benua diperkirakan mencapai 7,8 miliar pada 2020. Artinya ada 0,00003% orang yang lebih kaya dibanding hampir 60% orang di dunia.
Fakta kedua, jika 22 orang terkaya di dunia digabungkan kekayaannya, maka mereka masih tetap lebih kaya dibandingkan seluruh kekayaan wanita di Benua Afrika.
Jika menggunakan acuan 22 orang terkaya di dunia versi Forbes, maka total kekayaan mereka mencapai US$ 1,28 triliun atau setara dengan Rp 17.930 triliun. Angka tersebut bahkan lebih besar dari output perekonomian Indonesia.
Fakta ketiga, jika seseorang mulai menabung US$ 10.000 per hari (Rp 140 juta) sejak zaman piramida dibangun maka kekayaan orang tersebut saat ini hanya seperlima dari rata-rata kekayaan lima orang paling tajir di dunia. Padahal piramid Mesir dibandung sudah lebih dari ribuan tahun yang lalu.
Fakta keempat adalah 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan dua kali lipat dibanding 6,9 miliar orang di dunia.
Artinya ada sekitar 78 juta orang di dunia jika dikumpulkan kekayaannya maka jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari total kekayaan hampir 88% penduduk bumi.
Salah satu faktor yang mendorong distribusi kekayaan yang tak merata ini adalah perbedaan pertumbuhan pendapatan dari gaji dan dividen.
Dalam risetnya Oxfam menunjukkan bahwa sejak 2011-2017 gaji hanya bertambah 3% saja di negara G7. Sementara pendapatan dividen bertambah 31% pada periode dan negara yang sama.
CEO Oxfam India Amitabh Behar yang mewakili konfederasi di Davos mengatakan “kesenjangan antara si kaya dan si miskin tak dapat dihilangkan kalau sengaja tak dihilangkan, sedikit sekali pemerintah yang memiliki komitmen akan hal ini”.
Itu adalah salah satu contoh kesenjangan yang masih jadi permasalahan global. Dari data World Population Review, masih ada 68 negara yang memiliki angka ketimpangan lebih tinggi dari rata-rata ketimpangan di 145 negara yang disurvei.
Artinya ketimpangan yang sangat tinggi masih terjadi di berbagai negara termasuk diantaranya Singapura, Hong Kong, Arab Saudi, bahkan Malaysia dan Thailland. (net/rzl)