MEDAN (Berita): Pakar Politik dan Sosial Dr Dadang Dermawan Pasaribu,MH mengatakan ada empat faktor yang masih mempengaruhi kemenangan seseorang calon dalam Pilkada serentak ke depan.
Namun faktor yang paling mempengaruhi dari keempat tersebut adalah politik uang (money politik),kata Dadang (foto) kepada Berita, Jumat, (20/3) menyikapi akan berlangsungnya pesta Pilkada yang sebentar lagi digelar.
Menurut Dadang, keempat faktor ini masih berpengaruh dalam penentu kemenangan sosok seorang calon. Seperti, faktor kesukuan,agama, kelompok atau yang sering disebut politik indentitas.
Lalu faktor politik uang, ditambah faktor keberadaan penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keempat faktor pengelolaan manajemen oleh masing-masing kandidat, ucapnya.
Selebihnya, faktor lain, memperlihatkan program-program membangun atau visi dan misi yang disuguhkan seorang kandidat kepada masyarakat itu sangat kecil hanya berkisar 20 persen. Artinya, masyarakat sudah mulai mengabaikan dari faktor ini.
“Saya melihat dari keempat faktor tersebut, money politiklah yang masih kuat dalam pemilihan ke depan ini. Bahkan sangat mendominasi sekira 50 persen lebih. Artinya, permainan politik uang masih berlangsung dan belum bisa dihindari, ini”,ucap Dadang.
Kesimpulan itu, tidak lain hasil kondisi di lapangan dan hasil penelitian yang dilakukan para akedemisi yang sampai hari ini faktor-faktor tersebut masih berlanjut.
Sistim Demokrasi Perpolitikan
Sistim demokrasi perpolitikan yang berlangsung hingga sekarang ini lanjut dia, belum mencerminkan untuk membangun demokrasi yang jujur, dan berkeadilan. Artinya, politik uang tersebut belum dapat di rubah.
Kata dosen USU dan UMA ini, bila dilihat dari sistim politik indentitas misalnya, meski ini sah-sah saja dan masih berlangsung tapi bila tidak dibarengi dengan uang, maka seseorang kandidat belum berpeluang untuk menang. Jadi, kembali lagi penentu kemenangan itu dominannya adalah uang.
Perubahan untuk menuju demokrasi dengan sistim perpolitikan yang bermartabat belum bisa berubah. Kenapa? Ini akibat dari keadaan sistim perpolitikan yang dibangun pemerintah dan partai politik sejak dulu yang tidak memberikan edukasi politik kepada masyarakat ditambah dengan KPU yang belum mencerminkan ke transfaranan, sehingga hasilnya sampai saat ini, itulah yang kita hadapi.
Keberadaan KPU sebagai penyelenggara belum melaksanakan tugasnya secara signifikan. KPU dalam hal ini tidak lebih hanya pelaksana manajerial dari Undang-undang itu sendiri tanpa bisa menghindari sistim perpolitikan yang dibangun oleh pemerintah dan partai politik tadi,tambah Dadang.
Dalam konteks untuk membangun sistim Pilkada yang ideal dan pembersihan money politik sebenarnya yang bertanggung jawab adalah partai politik dan pemerintah.
Bila pemerintah dan partai politik tidak berniat untuk melakukan perubahan tanpa kencangnya money politik, maka ini tidak akan berubah.
Para akedemisi sebagai pengamat, sebut Dadang hanya mencoba untuk meminimalisir atau mengurangi efek negatifnya terutama politik uang yang masih parah.
Meski sebenarnya ini kita harapkan peran dan tugas KPU atau kelompok-kelompok independen untuk bisa melakukan perubahan itu. Terutama membuka kepada masyarakat rekam jejak calon pemimpin yang akan bertanding di pentas Pilkada.
Dengan demikian, masyarakat akan tahu untuk menentukan calon pemimpin daerahnya, yang secara terbuka membangun edukasi politik kepada masyarakat.
Serta keinginan dan kesadaran dari masyarakat untuk memilih pemimpin yang dipercaya dan mampu untuk membangun daerahnya masing-masing tanpa embel-embel money politik,pungkas Dadang. (clin)