MEDAN (Berita) : Pengusung partai berkuasa saat ini melalui berita sudah semakin santer, dia akan lanjut tiga periode. Meski hal ini sudah dibantah, yang menjadi pertanyaan apa yang terjadi ke depan ?
Disisi lain, dalam fenomena demokratisasi gelombang ketiga ini memang ramai elit yang atas nama demokrasi berusaha mengejar insentif untuk diri dan lingkarannya.
Meski dengan antara lain cara-cara legalistik formal termasuk mengubah konstitusi.
Hal itu dikatakan Pakar Politik dan Sosial Dr. Shohibul Ansor Siregar menjawab Berita menyikapi kancah perpolitikan yang terjadi saat ini menuju Pilpres yang akan datang.
Bahkan tidak bisa dipungkiri berbagai pendapat para pengamat politik pun mengecam memburuknya sistim perpolitikan di Indonesia.
Yang pada akhirnya rakyatlah yang menjadi korban.
Tapi apakah rakyat akan marah ? Apalagi rakyat itu mudah dikanalisasi. Bahkan mediapun cukup ampuh menggiring atas nama dan untuk framing, ucap Shohibul.
Dikatakan Shohibul, fenomena demokrasi yang dilakukan pengusungnya, dan ramainya elit mengatasnamakan demokrasi ini, hal seperti ini selalu disebut sebagai efek bola salju.
Dicontohkan Shohibul, di negara seperti China XI Jinping sudah berhasil mengubah konstitusi hingga ia akan menjadi pemimpin seumur hidup.
Begitupun Rusia sebelum ini, sudah berhasil menggondol mandat pengabadian kepemimpinan Putin yang tahun lalu berhasil beroleh legitimasi untuk memimpin 16 tahun ke depan.
Rasanya ini untuk mengatakan seumur hidup juga, contoh Shohibul.
Sementara fenomena seperti itu terjadi di pemerintahan Indonesia saat ini, partai pemberi mandat kepada petugas partai tentu akan bersikap.
“Kita tahu Mega selalu ingin mengulangi sejarah, mengorbitkan Soekarno ke pentas kepemimpinan nasional,”tambah Shohibul.
Dalam selentingan luas saat ini yang disebut akan bersatunya Joko Widodo dengan Prabowo Subianto untuk keberlangsungan tiga periode tersebut.
Memang yang menjadi perhatian lagi akan kemana Puan Maharani ?
“Tentu isu ini penuh resistensi, maka dijadikanlah Prabowo dan Gerindra sebagai tameng perintis.
Lalu, bila saatnya tiba nanti, petugas partai bisa menyeberang lagi mengukuhkan status sebagai petugas partai maju pada Pilpres berpasangan dengan Puan Maharani”, ujar Shohibul.
Kisah kerjasama politik dan ke takterlaksanaan ini sudah pernah terjadi antara Mega dan Prabowo.
Yang antara lain bisa diketahui dari naskah perjanjian Batu Tulis yang terjadi pada kancah perpolitikan di Indonesia saat Pilpres 2009.
Selanjutnya, kata Shohibul, bagaimana kekuatan politik lain akan bereaksi ?
Ini bukan sebuah tantangan bagi kekuatan politik resmi. “Karena atas nama koalisi kelak mereka akan berhitung realistis dan pragmatisnya.
Reword apa untuk kami ? Maka tuntutan ini akan muncul”,terang Shohibul.
Kembali, apakah rakyat akan marah?, sementara rakyat sangat mudah dikanalisasi.
Begitu juga dengan media pun cukup ampuh menggiring atas nama dan perspektif dalam peristiwa atau framing tersebut.
“Maka, tak terelakkan sejarah akan terulang kembali. Pada akhirnya rakyat yang makin merana dan melarat, perlu kita ingatkan, pungkas Shohibul. (lin)