MEDAN (Berita) : Pakar Sosial Dr. shohibul Ansor Siregar mengatakan, rakyat pasti berani ketika menyadari retorika tidak identik dengan realita.
Inilah yang terjadi saat bila perusahaan yang berinvestasi sudah sangat merugikan masyarakat dan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya,ujar Shohibul Ansor kepada Berita, Senin, (31/5) di Medan, menyikapi kemarahan rakyat dan terjadinya konflik masyarakat di kawasan itu.
Dikatakan Shohibul ketika mobilisasi aksi itu muncul tidak lain karena rakyat tidak diterima secara utuh. Halnya PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang sejak awal beroperasi 1983 memang tidak pernah diterima secara utuh oleh rakyat.
Baik karena tidak mengindahkan hak-hak Ulayat atas tanah, korban manusia dalam sejumlah konflik dan dampak lingkungan yang tidak begitu diperhitungkan akibatnya,ucap Shohibul.
Perusahaan bubuk ini pernah ditutup dan kemudian dibuka kembali karena keputusan politik, jawab Shohibul ketika ditanya banyaknya kepentingan di dalamnya.
Dan belakangan ini mulai ada mobilisasi aksi-aksi untuk merebut perhatian nasional karena rakyat telah merasa dirugikan.
Kini konflik dipicu oleh perseteruan atas lahan di Natumingka. Konflik antara rakyat dengan perusahaan seperti yang terjadi juga di Sigapiton beberapa waktu lalu.
Seyogianya, lanjut Shohibul, ini tidak akan terjadi selama manusia tidak dimarginalkan. Manusia adalah subjek pembangunan, bukan sebaliknya menjadi objek belaka.
Pembangunan juga tidaklah benar jika tidak menghitung dimensi kerakyatan dalam pengertian bahwa pembangunan tidak boleh menjadi arena marginalisasi rakyat, papar Shohibul
Bahkan harus sebaliknya, harus memberdayakan investasi itu dari negara manapun asalnya itu semestinya tidak akan pernah lebih mahal nilainya dibanding manusianya, tambah Shohibul.
Sekaitan dengan masalah TPL ini yang menjadi sorotan kembali, mengherankan, lahan ini sudah dibudidayakan oleh PT TPL dengan hutan tanaman industri kebutuhan produksi PT TPL dan sudah panen lima kali yang sekali panen dalam jarak 5 tahunan. Ini ada apa,sebut Shohibul.
Halnya ketua MPR Bambang Susatyo, lanjut Shohibul, kita berharap tidak semestinya hanya menyoroti PT TPL, karena investasi yang lain di sekitar juga kurang memberi manfaat besar secara langsung kepada rakyat.
Agak banyak yang paradoks di sekitar ini, antara lain keberadaan keramba di dalam lokasi superdestinasi wisata.
Padahal sebelum konflik rakyat dengan PT TPL di Natumingka, ada konflik-konflik besar lainnya yang tidak begitu menarik perhatian publik nasional termasuk lembaga pengawasan, audit dan civil society.
Halnya di Sigapiton yang lokasinya terkena proyek pembangunan superdestinasi Danau Toba rakyat tak berdaya, hingga tak sedikit relawan perempuan melakukan perlawanan dengan telanjang bulat. Tapi Bambang Susatyo tak angkat bicara,ucap Shohibul.
Sebab itu, kita berharap perhatian para pejabat negara, bahwa PT TPL bukanlah satu-satunya masalah dalam pembangunan superdestinasi Danau Toba, karena kelihatannya filosofi investor hanya ingin menyeret rakyat ke skenario mereka.
Semestinya pembangunan yang harus diseret sedekat-dekatnya dengan kebutuhan rakyat dan pemuliaan martabatnya, sebutnya.
Bambang Susatyo juga harus diingatkan agar bicara keras tentang keniscayaan manusia dan local community dengan segenap kekayaan adat istiadatnya sebagai subjek pembangunan, bukan hanya objek semata.
Begitupun peran pastoral gereja sangat diperlukan dalam menuntun arah pembangunan superdestinasi Danau Toba.
Yaitu dengan mengadvokasi rakyatnya agar lebih memiliki kecerdasan berpartisipasi, mengoposisikan diri atas kebijakan yang menyimpang dan merekinsiliasi setiap konflik,pungkas Shohibul. (lin)