JAKARTA — Dua buku yang ditulis Teguh Santosa mendapatkan pengakuan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI). Kedua buku itu adalah “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina” berisi kumpulan wawancara wartawan senior yang juga Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) itu dengan duta besar negara-negara sahabat di Jakarta.
Atas kinerja tersebut, MURI yang didirikan budayawan Jaya Suprana mencatat Teguh sebagai “Penulis Buku Wawancara dengan Duta Besar Negara Sahabat Terbanyak”. Piagam MURI diserahkan Jaya Suprana dalam upacara sederhana yang digelar di Galeri MURI, Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis sore (14/9).
Selain itu Teguh juga dikalungi medali MURI oleh Wakil Direktur MURI Osmar Semesta Susilo.
“Pak Teguh Santosa ini kawan saya sekaligus bos saya karena berkenan memuat tulisan-tulisan saya yang membosankan,” kelakar Jaya Suprana mencairkan suasana.
Dalam dialog, Jaya Suprana menjelaskan bahwa kedua buku tersebut telah diluncurkan di Jaya Suprana School of Performing Arts yang berada tak jauh dari Galeri MURI pada 30 Juli lalu.
Peluncuran dihadiri sejumlah tokoh nasional serta duta besar dan diplomat dari beberapa negara sahabat. Hadir dalam peluncuran antara lain Dubes Rusia Lyudmila Vorobieva, Dubes Maroko Ouadia Benabdellah, dan Dubes Venezuela Radamez Gomes.
Menjawab pertanyaan Jaya Suprana, Teguh Santosa yang juga mengajar di jurusan hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa masing-masing wawancara di dalam kedua buku itu terpisah satu sama lain. Bila membaca kedua buku secara tuntas, Teguh mengatakan, pembaca akan mendapatkan pemahaman mengenai berbagai problematika di panggung global.
Pendiri Kantor Berita Politik RMOL dan mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ) ini mengatakan dalam setiap wawancara umumnya dia membahas tiga topik utama. Pertama mengenai sejarah dan aspek budaya negara tersebut tersebut. Lalu mengenai hubungan bilateral negara tersebut dengan Indonesia, dan ketiga tentang posisi negara ini dalam isu global yang sedang terjadi.
Di dalam buku tersebut terdapat wawancara dengan beberapa duta besar dari negara bekas bagian Uni Soeviet atau bekas anggota Blok Timur pada era Perang Dingin, seperti Rusia, Ukraina, Azerbaijan, Armenia, dan Hongaria. Untuk negara-negara ini, ujar Teguh, dia mengajukan pertanyaan khusus: what went wrong, apa yang salah dengan Uni Soviet hingga bubar.
“Kehancuran Uni Soviet ini saya kira penting juga untuk kita pelajari,” kata Teguh.
Ketika mengawali dialog, Jaya Suprana mengatakan bahwa piagam MURI yang diberikan kepada Teguh itu bukanlah piagam MURI pertama.
Sebelumnya Teguh pernah mendapatkan empat piagam MURI untuk kinerja tim di mana dia menjadi sosok sentral. Pertama untuk pendakian gunung-gunung tertinggi di dunia oleh pendaki tunadaksa berkaki satu Sabar Gorky. Kedua, piagam MURI untuk Konser Perdamaian yang diselenggarakan di Gedung Kesenian Jakarta pada April 2018 dengan menampilkan pianis muda dari Korea Utara.
Adapun piagam ketiga dan keempat terkait penyelenggaraan lomba baca puisi secara daring dengan peserta wartawan, dan penyelenggaraan forum tertinggi organisasi secara daring oleh organisasi pers JMSI.
Tour de’ Medan
Sehari sebelum menerima piagam dan medali MURI, Teguh Santosa atas undangan Sekolah Kebangsaan Pemuda Indonesia (SKPI) berkunjung ke Medan, Sumatera Utara, untuk mempromosikan kedua bukunya itu. Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) Teguh memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa yang bertema “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik.”
Dalam kuliah umum, Teguh menjelaskan bahwa perdamaian adalah masa di antara dua dua perang. Perdamaian bisa berlangsung untuk waktu yang lama atau singkat tergantung pada kekuatan pihak-pihak yang bertikai. Apabila pihak-pihak yang bertikai memiliki kekuatan relatif seimbang, maka perdamaian akan berlangsung cukup lama. Sementara bila kekuatan di antara merea tidak seimbang, maka pihak yang powerful akan segera menaklukkan pihak yang powerless.
Teguh juga menggarisbawahi pandangan state of war yang disampaikan filsuf Thomas Hobbes yanhg hidup antara abad ke-16 sampai ke-17 dalam bukunya Leviathan.
Pandangan ini mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki sifat agresif terhadap manusia lainnya. Itulah sebabnya, Hobbes mengatakan bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain atau homo homini lupus, dan seringkali terjebak dalam situasi perang semua melawan semua atau bellium omnum contra omnes sampai terjadi kesepakatan yang melahirkan pihak yang diberikan hak untuk mengatur hidup individu-individu yang bertikai.
Karena sifat-sifat negara menyerupai sifat individu manusia, maka dapat dipahami apabila para realis dalam studi hubungan internasional menyebut sistem internasional bersifat anarki. Ketegangan yang terjadi di antara negara-negara walau mungkin berujung pada benturan di antara mereka namun tidak mustahil juga akan berakhir dengan kesepakatan menjalin aliansi.
“Seperti manusia, negara juga makhluk individual sekaligus sosial. Ingin dirinya tetap eksis dan agresif, namun pada situasi tertentu memilih untuk bergandengan tangan dengan negara lain yang memiliki sifat yang sama persis dengan dirinya,” urai Teguh.
Terkait dengan frase “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” Teguh mengatakan, individu manusia dan negara dihadapkan pada dua pilihan: bertahan dalam perdamaian yang tidak sempurna dan dipenuhi dengan intrik, atau mempersiapkan diri untuk mengobarkan api perang yang sempurna, yang sesungguhnya pun tidak pernah ada.
Selain di FISIP USU, Teguh juga berbicara dalam diskusi buku di Roman Kafe di kawasan Tanjung Sari, Medan. Dalam diskusi buku yang dihadiri mahasiswa dan aktivis berbagai elemen, Teguh menjelasakan ketertarikannya sejak lama pada dinamika dunia dan metode yang dipilihnya untuk mendekati berbagai peristiwa di arena global. Antara lain dengan mewawancarai duta besar negara tertentu. (Rel).