JAKARTA (Berita): Pengamat geopolitik Tengku Zulkifli Usman mengatakan, aksi solidaritas mahasiswa pro Palestina yang marak terjadi di kampus-kampus universitas di Amerika Serikat (AS) dimotori oleh Columbia University, New York, menandakan adanya kesadaran global terhadap permasalahan bangsa Palestina saat ini.
“Anak-anak muda di Amerika sekarang tidak bisa lagi dibohongi, dia sudah tahu kejadiannya sebenarnya di Palestina.
Dan mereka tahu kalau Amerika supportnya sangat kuat kepada Israel. Itu semua karena media sosial,” kata Tengku Zulkifli Usman (TZU) dalam Gelora Talk Rabu (1/5/2024) di Jakarta.
Diskusi bertajuk ‘Kampus Dunia Menyala Dukung Palestina, Pertanda Apa ?’ ini juga menampilkan nara sumber lainnya yakni Ipan Nasution, Master Internasional Affairs Candidate, School of Internasional and Public Policy, Columbia University.
Lalu, Muhammad Farid Imansyah, Master’s student at New York University-Educational Leadership Program, serta Hanisa Zulistia, mahasiswi Al Azhar University, Kairo-Mesir.
TZU mengatakan, anak-anak muda di AS menyadari telah ada persepsi salah terhadap Palestina selama ini, sehingga perlu diluruskan.
“Jangankan masyarakat biasa, Presiden Joe Biden saja kemakan hoaks ketika awal-awal penyerangan pada 7 Oktober 2023 lalu, bahwa dia percaya ada pembantaian 400 anak-anak Israel oleh Hamas. Tapi ternyata itu hoaks,” ungkapnya.
Selain itu, anak-anak muda di AS juga menyadari bahwa dukungan keuangan Amerika kepada Israel ternyata tidak pernah kendor, termasuk keterlibatan kampus-kampus mereka yang melakukan investasi di negara Yahudi tersebut.
“Jadi sekarang ini di Amerika, di dunia barat dan Eropa, muncul kesadaran generasi baru secara global, yang semakin hari semakin maju.
Mereka menyadari, bahwa apa yang dilakukan Israel di Palestina adalah sebuah penjajahan, dan apa yang terjadi di Gaza adalah genosida atau pembantaian,” jelasnya.
TZU yang juga Wakil Ketua Bidang Narasi DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini berharap kesadaran global anak-anak muda di AS saat ini mendapatkan dukungan atau support dari dunia Islam.
“Bahwa dukungan Amerika tanpa batas secara finansial untuk senjata Israel sudah tidak bisa diterima akal sehat lagi.
Karena Israel melakukan pembunuhan, genosida tiap hari. Mereka ini generasi baru anti penjajahan, anti apartheid. Mereka paham hak asasi manusia, dan saya berharap dunia Islam memberikan support,” tegasnya.
Tidak Sesuai Dengan Nilai-nilai Demokrasi
Sementara Ipan Nasution, Master Internasional Affairs Candidate, School of Internasional and Public Policy, Columbia University menilai apa yang dilakukan pemerintahan AS dibawah pimpinan Presiden Joe Biden saat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi Amerika.
“Sekitar 108 mahasiswa Columbia yang pro Palestina ditangkap oleh NYPD. Mereka diizinkan masuk dan menangkap mahasiswa dengan kendaraan militer oleh administrator kampus.
Inilah yang menimbulkan resistensi yang luar biasa dari mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen di Amerika,” kata Ipan Nasution.
Padahal, lanjutnya, konstitusi Amerika menjamin dan menyatakan semua pihak berhak menyampaikan pendapat. Tetapi, ketika mahasiswa melakukan aksi solidaritas untuk Palestina ditangkap dan diperlakukan seperti teroris.
“Hal ini menimbulkan serangan balik dari mahasiswa. Mereka melakukan siaran live di sosial media, sehingga kejadian di Columbia dapat diketahui secara luas secara langsung.
Perkembangan informasi yang sangat cepat ini menjadi trigger bagi mahasiswa lainnya maupun mahasiswa dan dosen di seluruh dunia,” ujarnya.
Ipan mengatakan, mahasiswa Columbia University sengaja mengkoordinir kesadaran secara global tentang perjuangan Palestina, karena keberadaan kampusnya di New York, yang merupakan pusat ekonomi dunia yang tidak pernah berhenti.
“Mahasiswa Columbia merupakan aktor-aktor perubahan. Tuntutan kami tetap tolak divestasi dan meminta Columbia University memutus hubungan finansial dengan Israel,” katanya.
Menurut Ipan, para mahasiswa yang berdemo terancam sanksi hingga tidak bisa ikuti wisuda, tetapi mahasiswa bertekad terus berdemonstrasi dengan mendirikan kemah, dan memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel.
“Mahasiswa Indonesia di Columbia juga dipersekusi, indentitasnya diungkap. Teman-teman kita yang perempuan yang berhijab di bilang teroris dan lain-lain. Jadi memang iklim di sini dalam beberapa bulan terakhir, sudah kurang kondusif,” ungkapnya.
Muhammad Farid Imansyah, Master’s student at New York University-Educational Leadership Program, menambahkan aksi solidaritas Palestina yang dilakukan mahasiswa di AS diharapkan dapat menjadi literasi mahasiswa-mahasiswa di dunia, termasuk di Indonesia untuk menyerukan divestasi dari Israel.
“Putuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang memang banyak menyumbang untuk Israel, termasuk dalam edukasi dan pendidikan.
Jika diboikot, maka profit untuk Israel akan benar-benar terganggu,” kata Muhammad Farid Imansyah.
Farid mengajak mahasiswa Indonesia untuk memberikan edukasi ke masyarakat tentang Palestina dan memperjuangkan kemerdekaannya, termasuk melakukan aksi boikot terhadap produk perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Israel.
“Kawan-kawan di Indonesia bisa fokus untuk membangun generasi baru yang bisa membebaskan Palestina. Kalau generasi kita tidak bisa membebaskan Palestina sekarang, maka kita bisa menjadi generasi yang menyiapkan generasi berikutnya,” kata Farid.
Sedangkan Hanisa Zulistia, mahasiswi Al Azhar University, Kairo-Mesir mengatakan, keterlibatan mahasiswa Indonesia di Al Azhar untuk membantu Palestina dilakukan dengan menjadi relawan.
Mahasiswa Al Azhar membantu mengantarkan bantuan secara langsung untuk Gaza, Palestina melalui perbatasan Rafah dan Mesir.
“Kita membantu sebagai relawan, ikut membantu hingga area perbatasan. Kita mengantarkan bantuan dari NU, Muhamadiyah, MUI, Baznas, pemerintah dan bantuan dari masyarakat Indonesia lainnya,” kata Hanisa.
Mahasiswa Indonesia di Al Azhar sengaja tidak melakukan aksi unjuk rasa seperti yang dilakukan mahasiswa AS dalam upaya solidaritas untuk Palestina, karena akan langsung dideportasi. Sehingga disepakati sebagai relawan saja untuk mengantarkan bantuan ke Palestina.
“Sebab, dari segi militernya disini sangat berbahaya, kita bisa ditangkap dan dideportasi, kalau kita terjun langsung ke tempat-tempat umum.
Tetapi, kita para mahasiswa dan aktris dakwah ini terus berjuang untuk negara Palestina merdeka,” pungkasnya. (aya)