JAKARTA (Berita): Presiden Kelima RI Prof.Dr (HC) Megawati Soekarnoputri menyampaikan pernak-pernik penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan Gerakan Non Blok (GNB) yang diikutinya atas ajakan Dr. Ir. Soekarno, Proklamator RI.
Termasuk soal bagaimana Indonesia kala itu meyakinkan Tiongkok untuk hadir di KAA, soal Aljazair yang belum merdeka, hingga ke tingkah Pemimpin Soviet Nikita Kruschev.
Hal itu disampaikan Megawati Soekarnoputri saat memberikan sambutan secara virtual dalam opening ceremony acara ‘Bandung-Belgrade-Havana in Global History and Perspective’, di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta, Senin (7/11/2022).
Megawati menjelaskan KAA adalah awal gerak solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika menyatu.
Para pemimpin bangsa dari 29 negara bertemu untuk memenuhi panggilan sejarahnya, berjuang untuk mewujudkan tata dunia baru yang seharusnya bebas dari kolonialisme dan imperialisme.
Megawati lalu mengatakan, dirinya teringat bagaimana sang ayah, Soekarno, menceritakan sebelum terjadinya konferensi sampai berada di dalam konferensi.
“Jadi, yang paling saya kagumi adalah dengan caranya Bung Karno itu bisa mengajak yang namanya sekarang menjadi Republik Rakyat Tiongkok untuk ikut di dalam KAA.
Ketika itu beliau berhubungan dengan Ketua Mao Zedong,” jelas Megawati. “Beliau (Soekarno,red) bilangnya begini, “Kalian itu jangan mengurung diri saja di dalam yang disebut tirai bambu.
Sudah saatnya kalian pun harus ikut sebagai salah satu bangsa yang mempunyai penduduk terbesar di dunia’,” urai Megawati.
“Pendek ceritanya, yang dapat meyakinkan atas bantuan dari Perdana Menteri Zhou Enlai.
Zhou Enlai sangat sepakat dengan Bung Karno. Akhirnya di situlah China itu ikut di dalam Konferensi Asia-Afrika dan dapat membuka dirinya menjadi seperti Tiongkok yang sekarang,” tambah Megawati.
Kisah yang berikutnya terjadi di dalam tempat konferensi. Panitia KAA sudah diberitahu bahwa kalau ada negara yang belum merdeka, tetapi ikut dan hadir di Bandung, kota penyelenggaraan konferensi. Oleh panitia, negara itu ditaruh ke tempat peninjau.
“Tetapi ketika itu datanglah delegasi Aljazair, mereka protes. Karena memang waktu itu Aljazair belum merdeka.
(Tetapi mereka protes,red) Karena tidak mau jauh-jauh datang, kok (ditempatkan) sebagai peninjau. Jadi Bung Karno diberitahu,” kata Megawati.
“Lalu Bung Karno, di sebuah meja yang kosong, duduk, memanggil delegasi tersebut. Lalu gampang saja, beliau minta kertas.
Di tempat kosong itu kan biasanya ada nama (negara), lalu untuk bendera. Jadi Bung Karno hanya nanya gini, “Kalian kalau nanti merdeka, bendera kalian seperti apa ?” Jadi orang itu yang ditanya ngomong. Bung Karno kan arsitek, jadi pintar gambar.
Jadi dia cepat, ngikuti. Nah, langsung ditanya, “Apakah ini benderamu?” “Yes” kata orang yang mungkin itu ketua delegasi.
Oke, ditaruh di tempat bendera. Panitia dipanggil, “dia sah sebagai pengikut, bukan peninjau”. Wah (Aljazair) kan senang banget,” beber Megawati.
Kisah pemimpin dunia lainnya yang diketahui Megawati adalah Nikita Kruschev dari Uni Soviet. Saat itu Megawati menjadi salah satu peserta Konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) di Yugoslavia.
“Ketika Presiden Khrushchev pidato, saking mungkin bersemangatnya sampai dianya copot sepatu. Terus sepatu itu dia pukulkan seperti palu.
Seingat saya enggak ada palu, jadi mungkin dia pikir mesti mencari palu, ya sudah sepatu saja,” cerita Megawati.
Bagi Megawati, para pemimpin itu adalah pejuang-pejuang besar, sangat mumpuni, tetapi low profile.
Hal ini patut menjadi pelajaran bagi pemimpin saat ini. Misalnya, bagaimana hubungan antarpemimpin itu seharusnya sampai pada sebuah lobi yang bisa dikatakan sangat pribadi.
“Apa maksud saya menceritakan hal tersebut yang mungkin tidak tertuliskan dan tidak ada dokumentasinya.
Bahwa kalau kita memiliki tujuan, kita harus mengikuti tujuan itu dan jangan menyerah begitu saja. Menurut saya, itulah watak seorang pemimpin,” kata Megawati. (iws)