Oleh: Adhifatra Agussalim
Mukaddimah
_Bismillahirrahmanirrahim,_ Di era digital yang serba cepat, informasi menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat. Namun, di balik kemudahan akses informasi tersebut, terdapat ancaman serius berupa misinformasi dan hoaks yang menghantui kita dan menyebar dengan kecepatan yang luar biasa.
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi pola pikir masyarakat, tetapi juga berpotensi menciptakan disinformasi masif yang merusak tatanan sosial, memecah belah masyarakat, dan mengancam demokrasi.
Pernah baca narasi berikut, adanya paket internet gratis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beredar di media sosial pada November 2024. Posting itu juga menyertakan tautan atau link cara mendapatkan paket internet gratis tersebut.
Menurut keterangan teks posting itu, bantuan diberikan pada Oktober hingga Desember 2024, narasi tersebut dipastikan Hoaks.
Dalam konteks ini, jurnalisme memiliki peran penting sebagai benteng terakhir dalam menjaga kebenaran. Jurnalis bukan hanya penyampai berita, tetapi juga penjaga integritas informasi di tengah derasnya arus hoaks.
Di tengah kondisi di mana kepercayaan masyarakat terhadap informasi terus diuji, jurnalisme yang bertanggung jawab menjadi kunci dalam melawan ancaman misinformasi dan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan terpercaya.
_Allahumma shalli alaa Muhammadin ‘abdika warasulika nabiyyil ummi wa’alaa aalihii wa sallim._
Tantangan Jurnalisme di Era Digital
Di era digital, jurnalisme menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan masa sebelumnya. Salah satu tantangan terbesar adalah kecepatan penyebaran informasi. Dengan adanya media sosial, siapa pun dapat menjadi “pemberi berita,” meskipun tanpa dasar verifikasi yang memadai.
Akibatnya, misinformasi dan hoaks sering kali menyebar lebih cepat daripada berita faktual.
Selama pemilu di berbagai negara, seringkali terjadi penyebaran hoaks yang dapat memengaruhi persepsi pemilih.
Jurnalis perlu berhati-hati untuk tidak menjadi corong penyebaran informasi palsu dan harus memeriksa fakta secara menyeluruh sebelum mempublikasikan berita.
Selain itu, algoritma platform digital yang dirancang untuk memprioritaskan konten berdasarkan tingkat keterlibatan pengguna sering kali mengesampingkan akurasi.
Informasi yang sensasional dan kontroversial cenderung mendapatkan perhatian lebih, sehingga mendorong penyebaran hoaks yang menarik emosi pembaca. Di sisi lain, tekanan ekonomi juga menjadi tantangan.
Banyak media menghadapi persaingan ketat untuk menarik perhatian pembaca, yang sering kali berujung pada produksi konten dengan judul sensasional atau tanpa verifikasi mendalam, demi meningkatkan klik dan pendapatan iklan.
Lebih jauh, kepercayaan publik terhadap media arus utama telah mengalami penurunan di beberapa negara. Polarisasi politik dan tuduhan bias membuat sebagian masyarakat lebih mempercayai informasi dari sumber yang tidak diverifikasi, memperburuk penyebaran hoaks.
Dalam kondisi ini, jurnalis tidak hanya dituntut untuk menyampaikan informasi yang cepat, tetapi juga memastikan bahwa informasi tersebut akurat dan bertanggung jawab. Namun, tantangan ini membutuhkan kolaborasi dengan teknologi, regulasi yang memadai, serta dukungan dari masyarakat untuk memerangi ancaman misinformasi secara efektif.
Ke pasar malam beli lampu,
Lampu indah berwarna-warni.
Jurnalis hadir membawa waktu,
Menyajikan berita yang penuh arti
Peran Utama Jurnalisme dalam Melawan Misinformasi dan Hoaks
Jurnalisme memiliki peran krusial dalam menghadapi ancaman misinformasi dan hoaks yang semakin marak di era digital. Sebagai penjaga kebenaran, jurnalis dan media bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat, terpercaya, dan berdampak positif bagi masyarakat.
Pertama, kita perlu verifikasi fakta secara mendalam, verifikasi menjadi inti dari jurnalisme yang bertanggung jawab. Jurnalis harus memastikan bahwa informasi yang mereka sajikan telah melalui proses pengecekan yang ketat, baik melalui wawancara, pengumpulan data dari sumber kredibel, maupun investigasi langsung.
Dengan demikian, jurnalisme dapat menjadi tameng pertama yang membedakan fakta dari informasi palsu. Cara kedua, dengan mengklarifikasi dan meluruskan informasi palsu, ketika hoaks tersebar luas, media memiliki peran penting untuk memberikan klarifikasi.
Melalui artikel atau laporan yang berbasis fakta, jurnalis dapat meluruskan kesalahpahaman, mengidentifikasi informasi palsu, dan menjelaskan dampaknya kepada masyarakat. Tahap ketiga, berusaha menyajikan edukasi publik tentang literasi media, Jurnalis dapat membantu masyarakat meningkatkan literasi media dengan menyisipkan edukasi tentang cara mengenali berita palsu.
Mereka dapat memberikan panduan sederhana, seperti pentingnya memeriksa sumber berita, mengevaluasi konten secara kritis, dan menggunakan alat pengecekan fakta yang tersedia. Keempat, dengan menjaga etika dan objektivitas, Di tengah tantangan persaingan dan tekanan ekonomi, jurnalis harus tetap memegang teguh etika dan prinsip objektivitas.
Berita yang disajikan dengan adil, tanpa memihak, dan berdasarkan fakta akan membangun kepercayaan publik serta membantu mengurangi polarisasi yang sering kali menjadi akar penyebaran hoaks. Poin
Kelima, harus ada kolaborasi dengan teknologi, Jurnalis dapat memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan dan alat pengecekan fakta untuk mempercepat identifikasi dan pencegahan penyebaran hoaks. Kolaborasi ini tidak hanya mendukung kecepatan kerja jurnalis, tetapi juga meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam menyampaikan berita.
Keenam, dengan memprioritaskan Jurnalisme Investigasi, Di tengah derasnya arus berita cepat, jurnalisme investigasi menjadi sangat penting. Dengan menggali informasi lebih dalam, jurnalis dapat mengungkap latar belakang dan motif di balik penyebaran hoaks, sehingga membantu masyarakat memahami akar masalahnya.
Poin Ketujuh yang terakhir, jurnalis harus menjadi pilar kepercayaan publik, Kepercayaan adalah aset utama jurnalisme. Dengan konsistensi dalam menyajikan informasi yang benar dan berintegritas, jurnalisme dapat menjadi sumber terpercaya yang melindungi masyarakat dari ancaman misinformasi.
Melalui peran-peran tersebut, jurnalisme tidak hanya berfungsi sebagai penyampai berita, tetapi juga sebagai penjaga harmoni sosial, pelindung demokrasi, dan pengawal kebenaran di tengah derasnya arus informasi palsu.
Memetik mangga di waktu pagi,
Mangga manis segar di hati.
Misinformasi bagaikan api,
Membakar damai, menghancurkan arti.
Tanggung Jawab Kita Bersama
Melawan misinformasi dan hoaks bukanlah tanggung jawab yang dapat dipikul jurnalisme sendirian. Kompleksitas penyebaran informasi palsu memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak pemerintah, platform teknologi, komunitas, dan individu untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat.
Pertama, Pemerintah harus menyusun kebijakan yang mendukung informasi yang kredibel, Pemerintah memiliki peran penting dalam menyediakan regulasi yang jelas untuk menangani penyebaran hoaks tanpa mengorbankan kebebasan pers.
Undang-undang yang mendukung transparansi informasi, melindungi jurnalis yang mengungkap fakta, serta menindak tegas pelaku penyebar hoaks dapat menjadi fondasi penting. Selain itu, pemerintah juga dapat memfasilitasi program literasi media untuk masyarakat.
Kedua, implementasi platform teknologi, dengan memperkuat algoritma dan moderasi konten, sebagai medium utama penyebaran informasi di era digital, platform seperti media sosial dan mesin pencari memiliki tanggung jawab besar.
Mereka perlu meningkatkan algoritma untuk memprioritaskan konten berkualitas dan meminimalkan penyebaran informasi palsu. Selain itu, kolaborasi dengan organisasi pengecekan fakta untuk menandai atau menghapus hoaks juga menjadi langkah konkret yang harus dilakukan.
Ketiga, Masyarakat juga harus meningkatkan literasi digital, kesadaran individu dalam menyaring informasi merupakan benteng pertama melawan hoaks. Masyarakat perlu dilatih untuk lebih kritis dalam mengkonsumsi berita, memverifikasi sumber informasi, dan tidak menyebarkan konten yang tidak terkonfirmasi.
Partisipasi aktif ini akan mengurangi dampak dari informasi palsu. Keempat, Media juga harus terus menjaga kredibilitas dan etika jurnalisme, media harus tetap konsisten dalam menjaga akurasi dan integritas pemberitaan.
Selain itu, kerja sama antar-media untuk berbagi data terkait misinformasi dan hoaks dapat memperkuat upaya kolektif dalam melawan penyebaran informasi palsu. Kelima, adanya Organisasi Nonprofit berkolaborasi dengan akademisi, senantiasa mendukung penelitian dan advokasi, Organisasi nonprofit dan akademisi dapat berperan dengan menyediakan penelitian mendalam tentang pola penyebaran hoaks dan dampaknya.
Mereka juga dapat mengadvokasi kebijakan yang mendukung penguatan literasi digital dan etika jurnalisme. Poin Keenam, perlu adanya Kolaborasi multisektor, dengan tema bersama mengawal kebenaran, kunci keberhasilan melawan misinformasi terletak pada kerja sama yang erat antara semua pihak.
Kampanye bersama, seminar, dan platform diskusi dapat menjadi wadah untuk berbagi solusi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya informasi yang akurat. Melawan hoaks merupakan tanggung jawab kolektif yang memerlukan sinergi berbagai elemen masyarakat. Dengan kerja sama yang solid, ancaman misinformasi dapat diminimalkan, dan masyarakat akan lebih terlindungi dari dampak buruknya.
Berlayar jauh hingga ke dermaga,
Ombak tenang tak membuat ngeri.
Hoaks bertebar bagai duri saga,
Jangan percaya, cek dan teliti.
Kesimpulan
Jurnalisme memiliki peran yang sangat penting dalam melawan misinformasi dan hoaks yang semakin marak di era digital. Sebagai garda terdepan penjaga kebenaran, jurnalis bertanggung jawab untuk memverifikasi fakta, meluruskan informasi palsu, serta mendidik masyarakat tentang pentingnya literasi media.
Namun, tantangan besar seperti tekanan kecepatan berita, polarisasi, dan algoritma media sosial membuat peran ini tidak dapat dijalankan sendiri.
Perang melawan hoaks memerlukan tanggung jawab bersama. Pemerintah, platform teknologi, masyarakat, dan organisasi pendukung harus berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat.
Dengan sinergi ini, arus informasi palsu dapat diminimalkan, kepercayaan terhadap media dapat dipulihkan, dan demokrasi dapat terus dijaga.
Pada akhirnya, jurnalisme yang beretika dan berintegritas menjadi cahaya dalam kegelapan informasi palsu. Dengan komitmen pada kebenaran dan kerja sama dari semua pihak, masyarakat dapat terlindungi dari dampak buruk misinformasi, sekaligus mendapatkan informasi yang benar dan bermakna.
_Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariiq, billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat_
Samudera Pasai, Aceh Utara, 3 Desember 2024/2 Jumadil Akhir 1446 H.
Adhifatra Agussalim
Praktisi Jurnalis, Pemimpin Redaksi Media Online, Associate member Institute of Compliance Professional Indonesia (ICOPI), Anggota Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI),
Sekretaris DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, member of Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA), anggota dari Institute of Internal Auditor (IIA). UKW Wartawan Muda,