Memang tidak mudah menerima kekalahan. Apalagi menerima kekalahan mutlak yang menghapus dan tak sedikit pun menyisakan harapan.
Suatu kekalahan yang tak memberi hal lain kecuali menghadirkan kegelapan. Suatu bentuk kekalahan yang menyeret kita ke dalam keresahan panjang tanpa kepastian; kapan kegelapan akan berlalu ? Disertai pula datangnya pertanyaan yang sangat mencemaskan; masih adakah secercah harapan ?
Nah, kekalahan Timnas sepak bola Indonesia dari Thailand pada laga AFF 2020, seakan hadir sebagai pil pahit yang harus ditelan oleh berjuta rakyat Indonesia.
Karena sebagai bangsa pecinta sepak bola yang tengah dalam keadaan ‘meriang’ sosial – ekonominya, sangat berharap Timnas kita mampu mempersembahkan kemenangan.
Agar saat menyambut datangnya Tahun Baru 2022, adalah secercah harapan baru yang melegakan.
Sayangnya Timnas sepak bola kita yang digadang-gadang untuk menang mengalami kekalahan dari Timnas Thailand.
Rakyat Indonesia yang sepanjang tahun telah didera sesak napas menghadapi pandemi Covid-19, setidaknya akan sedikit terhibur untuk sejenak melupakan kepahitan hidup bila saja kemenangan Timnas kita dapat dihadirkan.
Berjuta rakyat kita yang haus harapan, pastilah gemuruh bersorak ria merayakan kemenangan. Walau sesaat dan tak berkelanjutan pada realita kehidupan esok hari, tapi setidaknya dahaga panjang sempat terobati oleh ‘setetes air harapan’ yang mampir sejenak membasahi tenggorokan kering berjuta rakyat di negeri ini.
Pada dasarnya, menerima kekalahan Timnas kita ini, sangat jauh berbeda dari perasaan pedih ketika jutaan rakyat kita kembali harus menghadapi realita kehidupan yang membentangkan sederet kekalahan.
Sebagai masyarakat bangsa dari suatu negara besar yang alamnya kaya raya, memang sangat menyedihkan ketika mayoritas rakyatnya harus menderita kekalahan akut di wilayah kehidupan ekonomi, sosial politik, dan budaya.
Negara yang kaya raya ini, ternyata hanya mampu memberikan kemiskinan kepada mayoritas rakyatnya.
Berpuluh tahun, para pemimpin di negeri ini lebih memberikan keleluasaan hidup untuk kaya selamanya hanya kepada tidak lebih dari 5% (lima persen) warga masyarakatnya.
Itu pun hanya kepada masyarakat penduduk dengan ras pilihan yang sejumlah tokohnya dengan predikat para Konglomerat, setiap tahunnya tampil sebagai deretan orang terkaya di Indonesia. Bahkan sebagian dari mereka berhasil tercatat dalam lembaran orang kaya dunia.
Hebatnya lagi, kekayaan mereka sepanjang pandemik melanda kita yang membuat rakyat menderita secara ekonomi, malah bertambah dengan raupan keuntungan yang konon hampir mencapai lima ratus triliun rupiah.
Dalam kaitan kekalahan rakyat Indonesia di wilayah ekonomi ini, semata akibat dari kegagalan beberapa dekade para pemimpin di negeri ini menjalankan amanat Undang-Undang Dasar ‘45, khususnya pasal 33, secara murni dan konsekuen.
Sebaliknya bangunan ekonomi nasional bangsa Indonesia, malah digiring melaju hingga terjerumus ke dalam sistem liberal kapitalistik yang serakah.
Segelintir warga bangsa yang selalu mendapatkan fasilitas negara dengan cara berkongkalingkong, berkolusi dengan para pejabat negara, akhirnya berhasil menguasai seluruh sektor kehidupan perekonomian bangsa ini.
Dengan kekayaan berlimpah yang dimiliki, merekalah sejatinya pemilik negara ini. Hampir di seluruh kegiatan kehidupan ekonomi, cengkraman tangan mereka semakin nyata dan ada di mana-mana.
Hampir seluruh institusi kehidupan berbangsa dan bernegara telah berhasil mereka beli. Tak terkecuali di wilayah eksekutif, legislatif, dan tentunya juga di arena yudikatif.
Akan hal ini, praktiknya justru kian terasakan yang berdampak pada menggelembungnya pesimisme terhadap kemampuan bangsa ini untuk bisa mengakhirinya.
Karena secara sistemik kehidupan berbangsa dan bernegara telah digiring untuk hanya memenangkan kepentingan mereka; para pengusaha (baca:konglomerat) dan para penguasa (politik-negara)
Untuk menjamin agar mereka tetap dan selalu berada di zona nyaman, membangun kekuatan dalam bangunan kerajaan Oligarki, merupakan strategi politik yang mereka lakukan.
Alhasil, amanat untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus selalu berada dalam koridor kehidupan berkonstitusi secara baik dan benar, telah berhasil mereka giring menjadi kehidupan berkonstitusi yang menjamin kemenangan permanen kaum oligark untuk berkuasa selamanya.
Itulah sebabnya, mengikis kedaulatan dan hak-hak rakyat yang merugikan dan mengancam zona nyaman mereka, dengan segera dan segala cara mereka singkirkan.
Dengan menguasai lembaga legislatif, eksekutif, hingga yudikatif, kaum Oligark dengan kekuatan dananya, telah berhasil menentukan nilai etika, logika, dan estetika mana yang baik dan benar bagi bangsa ini.
Alhasil, seluruh bangunan nilai-nilai kehidupan bangsa ini diarahkan untuk dapat dan hanya berpotensi melestarikan eksistensi dan kejayaan kerajaan sosial politik ekonomi mereka.
Tragisnya, hampir seluruh rakyat tersihir dan tanpa sadar kompak meng-amini ketika ada pejabat tinggi negara yang berseru lantang kepada rakyatnya; We are already in the right track! (Kita sudah berada di jalan yang benar!).
Pembutaan seperti inilah hal yang paling nyata untuk dikategorikan sebagai kalimat sihir yang mujarab untuk menyeret rakyat bangsa ini ke jurang kekalahan yang permanen.
Suatu bentuk kekalahan bangsa ini yang sangat menyedihkan karena rela menerima politik pemiskinan dengan senyum dan canda jenaka di sepanjang tahun kehidupannya.
Terekspresikan dalam perilaku masyarakat umum sehari-hari yang sangat layak dinyatakan sebagai masyarakat yang terjangkit wabah masochisme. Gemar menyakiti diri sendiri, baik sadar maupun tak sadar. Sangat gemar berkawan akrab dengan kegelapan.
Sebagai bangsa kita tengah mengalami kekalahan kebudayaan yang mendasar. Budaya gotong-royong, musyawarah mufakat, penuh toleransi yang menjadi dasar dari bangunan kebudayaan kita sebagai bangsa, telah digantikan oleh Aliranisme, Liberalisme dan Individualisme.
Di bidang politik, Daulat Rakyat telah digantikan oleh Daulat Tuanku penguasa dan pengusaha! Ekonomi rakyat dan kerakyatan telah digantikan oleh ekonomi pro konglomerat dan Kapitalisme liberal yang serakah.
Pancasila sebagai Dasar Negara telah dirubah menjadi PILAR-nya ‘negara Indonesia’ versi kaum Oligark dan sekutunya. Luar biasa! Rentetan catatan kekalahan permanen inilah yang seharusnya kita jadikan sebagai bentuk kekalahan amat dan sangat serius.
Suatu bentuk kekalahan yang tak memberi hal lain kecuali menghadirkan kegelapan dan keresahan panjang tanpa kepastian; kapan kegelapan akan berlalu ?
Sementara kekalahan Timnas kita, hanya layak dikategorikan sebatas kekalahan sementara. Mereka masih muda-muda, potensial, dan prospektif.
Tidak ada alasan untuk mencemooh mencaci mereka. Mereka telah memberikan yang terbaik untuk mengharumkan nama bangsa dan negaranya.
Apapun hasilnya! Inilah bentuk kekalahan yang wajar karena masih menyisakan harapan untuk esok hari bangkit meraih kemenangan.
Sementara kekalahan yang meresahkan dan berdampak pada penderitaan rakyat bangsa ini yang bersifat permanen, dapat kita rasakan lewat pertanyaan; Kemenangan apa yang dapat kaum Oligark berikan kepada bangsa ini selain kekalahan mendasar yang berpotensi menyeret bangsa dan negara ini ke jurang kegelapan yang abadi dan menyedihkan.
Oleh karenanya, sepatutnyalah kita teriakan bersama dengan tegas dan lantang: Say No to Oligarchy…Go to hell Oligarchy! (Watyutink.com )