Oleh: Parlin Lubis
Beberapa waktu yang lalu warga Desa Hutabaringin Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal dikejutkan ketika membersihkan perut ikan Sulum dan Jurung yang berasal dari Daerah Aliran Sungai Batang Gadis lalu menemukan sejenis organisme berukuran kecil, menyerupai kura-kura, dan berwarna putih dalam perut ikan.
Sulum dan Jurung masih berasal dari satu keluarga atau famili yang sama (famili Cyprinidae) dan termasuk salah satu jenis ikan yang sering dikonsumsi oleh warga karena masih banyak ditemukan pada habitat alaminya di sungai-sungai yang jernih, substrat perairan berpasir, terdapat kerikil dan bebatuan serta memiliki arus yang cukup.
Sungai Batang Gadisyang merupakan sungai terlebar dan terpanjang di Kabupaten Mandailing Natal kaya akan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang patut kita syukuri, meskipun pada lokasi-lokasi tertentu saat ini ada beberapa spesies ikan yang sudah langka ditemukan danterancam mengalami kepunahan.
Terkait dengan fenomena yang terjadi, hanya dalam hitungan beberapa menit saja masyarakat sudah mendapatkan berita ataupun informasi dari berbagai media lokal, dan selang beberapa hari kemudian petugas Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Medan I datang ke lokasi kejadian guna melakukan observasi dan mengambil dua jenis sampel ikan untuk selanjutnya dilakukan uji laboratorium di Balai KIPM Medan I.
Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan terhadap dua jenis ikan tersebut, penulis ketahuimelalui postingan salah satu akun media sosial warganet.
Didalam video (youtube) yang diunggah pada laman facebook tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa petugas Balai KIPM Medan I telah menemukan jenis kutu air atau kutu ikan (Isopoda) pada perut ikan Sulum dan Jurung (famili Cyprinidae) yang diduga berasal dari jasad hewan/telur kodok/tanaman air yang ada di sungai lalu masuk ketubuh ikan melalui mulut atau insang.
Dalam pemeriksaan parasitologis secara visual kondisi ikan sehat, sisik menempel dengan kuat, tidak ada bercak atau luka diseluruh badan ikan, mata jernih, warna insang merah dan normal.
Secara mikrokopis pada kulit, sirip dan insang ikan Sulum dan Jurung tidak ditemukan jenis parasit. Nekropsi ikan ditemukan jenis kutu air dalam lilitan usus ikan.
Temuan ini dapat disebabkan karena adanya gangguan terhadap ekosistem sungai sehingga menyebabkan putusnya beberapa komponen rantai makanan.
Misalnya di sungai tidak ditemukan lagi jenis ikan pemakan kutu air seperti: ikan manfis, ikan tiger, ikan patin, sehingga kutu air masuk ketubuh ikan dan selanjutnya berkembang biak didalam perut ikan.
Penanggulangan kutu air agak sulit dilakukan di Daerah Aliran Sungai yang luas seperti Daerah Aliran Sungai Batang Gadis, dan cara yang efektif dapat dilakukan adalah dengan memasukkan ikan patin (famili Pangisidae) dan ikan layang-layang (famili Carangidae) kedalam perairan sebagai pemangsa kutu air atau kutu ikan (Balai KIPM Medan I, 2023).
Jenis keanekaragaman ikan yang ada di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis terdiri dari 10 spesies dan 5 familia dengan indeks keanekaragaman yang tergolong sedang dengan nilai 1,77, akan tetapi memiliki indeks kemerataanyang tergolong tinggi dengan nilai 0,77.
Berdasarkan penelitian terhadap Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Batang Gadis Mandailing Natal Sumatera Utara yang dilakukan oleh (Atifah dan Agustina, 2017), ada beberapa spesies ikan yang ditemukan di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis diantaranya: Ikan Garing (Cyprinidae), keluarga Cyprinidae lainnya seperti Ikan Cencen, Ikan Mas, Ikan Keperas, Ikan Seluang, Ikan Tawes, Ikan Baung (Bagridae), Ikan Lele (Clariidae), Ikan Sapu-sapu (Loricariidae) dan Ikan Incor (Nemacheilus fasciatus). Jika merujuk pada penelitian tersebut, dapat terlihat bahwa tidak adanya ditemukan ikan patin (Pangasius) dan ikan layang-layang (Decapterus koheru) di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis sehingga menguatkan asumsi atau pendapat yang disampaikan oleh petugas (Balai KIPM Medan I, 2023).
Hilang atau terputusnya satu komponen dalam rantai makanan pada ekosistem sungai dapat berdampak pada penurunan populasi spesies. Jika spesies tersebut merupakan mangsa utama bagi predator lain dalam rantai makanan, maka akan terjadi penurunan populasi pada spesies tertentu.
Hilangnya satu spesies ikan dapat memengaruhi kemampuan sistem dalam mengindikasikan kualitas air yang sebenarnya.
Hilangnya satu komponen dalam rantai makanan pada ekosistem sungai dapat berdampak pada manusia yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.
Penurunan populasi ikan dapat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar sehingga akan berdampak terhadap ekonomi dan pemenuhan gizi atau nutrisi masyarakat.
Dari sudut pandang akademik, tentu fenomena yang terjadi beberapa waktu yang lalu akan sangat menarik jika dilakukan kajian ataupun penelitian.
Apakah fenomena yang terjadi memiliki hubungan dengan kondisi lingkungan Abiotik yang terdiri dari parameter fisika dan kimia perairan.
Ataukah memiliki hubungan dengan lingkungan Biotikseperti makhluk hidup dan tumbuhan termasuk kondisi vegetasi yang ada disepanjang sungai, atau bisa saja lebih erat kaitannya dengan lingkungan Citizen saperti partisipasi, keterlibatan, tanggung jawab, kesadaran, kewajiban sebagai warga masyarakatbaik dalam konteks budaya, politik, kelembagaan, sosial, ekonomi, dan lingkungan). Kejadian di alam ini tidaklah terjadi begitu saja melainkan memiliki hubungan sebab akibat yang kompleks.
Mengutip narasi yang sering disampaikan oleh salah seorang Profesor Kimia Lingkungan Universitas Negeri Padang (Prof. Indang Dewata) pada setiap pembelajaran bahwa “untuk mengurai ataupun menyelesaikan segala persoalan lingkungan tentu semua disiplin ilmu (multidisplin ilmu) harus memiliki cara pandangan yang sama terhadap lingkungan agar tujuan dari pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dapat tercapai sehingga pembangunan berkelanjutan dapat menghasilkan keberlanjutan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan”.
Jauh sebelum dilaksanakannya Deklarasi Rio de Janeiro di Brazil pada tahun 1992 yang salah satunya membahas tentang isu lingkungan, para leluhur kita (etnis Mandailing) sebenanrnya telah mengingatkan dan mengajak kita semua untuk menjaga dan melestarikan lingkungan sebagaimana tersirat dalam “Poda Na Lima”.
Namun seiring dengan perjalanan waktu “poda” atau “pesan” yang terdiri dari lima pesan itu secara perlahan tergerus oleh zaman. Kenapa ini bisa terjadi?.
Mengutip pemikiran seorang Profesor Filsafat dan Etika Lingkungan Universitas Negeri Padang (Prof. Fachri Ahmad) berpendapat bahwa “kenapa kita gagal dalam mengimplementasikan sesuatu ?, jawabnya karena kita tidak sungguh-sungguh terhadap sesuatu itu. Maka dari itu, penulis yang pernah menimba ilmu Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Pesisir dan Kelautan Universitas Bung Hatta Padang dan saat ini sedang melanjutkan pendidikan ilmu lingkungan di Universitas Negeri Padang merasa memiliki tanggungjawab secara akademik terhadap upaya pelestarian lingkungan.
Dan tentunya, kita semua selaku warga Mandailing Nataljuga memiliki tanggungjawab moral yang sama terhadap upaya pelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan kolaborasi dan sinergi lima pilar, pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi dan media dalam mengembangkan sebuah ekosistem yang kuat dan berkelanjutan.
Pemerintah berperan sebagai regulator dan memberikan dukungan kebijakan, swasta berperan sebagai penghasil inovasi dan teknologi, akademisi berperan sebagai penghasil pengetahuan dan riset, masyarakat sebagai penerima manfaat, dan media sebagai penyebar informasi dan pendorong partisipasi publik (Penta Helix). Demikian dan terima kasih. *** ( Penulis adalah : Mahasiswa S3 Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang Alumni Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Pesisir dan Kelautan Universitas Bung Hatta Padang ) ***