Tahun 1958, saya masih duduk di sekolah dasari ketika Ayahku, J.M. Pattiasina bertugas sebagai Direktur Perusahaan Negara (PN) Perusahaan Minyak Nasional (Permina) di Pangkalan Brandan.
PN Permina ini di kemudian hari berubah nama menjadi PN. Pertamina dan selanjutnya menjadi PT. Pertamina yang dikenal saat ini.
Meski tinggal di Medan, Saya sering diajak ke Pangkalan Brandan. Saya melihat ada banyak rongsokan besi tua dimana-mana.
Begitu juga rumput ilalang tumbuh nyaris menutupi besi-besi tua. Suatu ketika, Ayahku bilang kalau itu semua akan menghidupi Indonesia.
Sebagai anak kecil, saya tampak heran karena bagaimana besi tua seperti itu bisa menghidupi Indonesia. Tetapi, Ayahku menjelaskan kalau minyak itu hampir sama dengan emas.
Sebelum ke Medan, kami tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. JM Pattiasina merupakan teknisi kilang minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), perusahaan milik Belanda di Sungai Gerong dan Plaju.
Namun, sejarah memanggil untuk ikut dalam perang kemerdekaan di Palembang yang membawanya menjadi perwira militer.
JM Pattiasina yang menjabat komandan Zeni Pioner di Palembang membawa pasukan Zeni Pioner dari Palembang ke Pangkalan Brandan.
Tujuannya hanya satu memperbaiki kilang di Pangkalan Brandan untuk memastikan Indonesia mampu mengelola sendiri minyak buminya.
Sejarah mencatat, pada 24 Mei 1958, minyak mentah pertama Indonesia dikirim ke Jepang dengan Kapal Shozui Maru.
Kapal ini mengangkut 1.700 ton minyak mentah senilai $30.000 dari Pangkalan Susu
Kesuksesan ini menjadi momentum penting dalam sejarah Pertamina, karena dengan minyak dari Pangkalan Brandan inilah yang menandai kebangkitan Pertamina, termasuk membeli pesawat dan kapal untuk mengangkut minyak.
Sejak saat itulah, Pertamina memainkan peran penting dalam roda pembangunan di Indonesia. Semuanya berawal dari Pangkalan Brandan.
Minyak bumi di Pangkalan Brandan ini memiliki sejarah yang panjang sebelum dinasionalisasi Indonesia pada tahun 1950an.
Bahkan, Shell yang merupakan perusahaan rakasasa dunia saat ini memulai usaha perminyakannya di Sumatera Timur (Sumetara Utara) ini.
Sebelum Indonesia merdeka, sumber minyak di Indonesia dikelola tiga perusahaan besar, yakni Caltex, Shell dan Stanvac.
Pada zaman Jepang, semua sumber minyak dikontrol Jepang. Setelah masa perang, semua sumber minyak dikembalikan kepada pemegang konsesi lama, yakni perusahaan Eropa dan Amerika, yakni The Big Three (Caltex, Shell dan Stanvac).
Tapi, dari sekian banyak ladang minyak, hanya sumber minyak di Sumatera Utara yang tidak dikembalikan, karena masyarakat menolak pengembalian kepada BPM, dimana 60 persen saham dimiliki Royal Dutch Petroleum dan 40 persen sisanya dipegang Shell.
Penolakan ini juga diperkuat dengan keputusan pemerintah pusat, yang mengambil alih Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU).
Jadi, tidak heran kalau pihak asing masih berkepentingan untuk menguasai kembali sumber minyak di Sumatera Utara.
Hanya saja, ketika dinasionalisasi Indonesia, kilang minyak Pangkalan Brandan hanya menyisakan puing-puing besi tua.
Sebab, kilang ini mengalami beberapa aksi pengrusakan, sama seperti yang terjadi di Plaju dan Sungai Gerong, Palembang.
Pertama kali, kilang Pangkalan Brandan dihancurleburkan Belanda ketika menderita kekalahan dari Jepang.
Namun, belum benar-benar diperbaiki Jepang, kilang ini dihancurkan lagi karena kekalahan Jepang dari sekutu.
Meski diambil alih Indonesia, tetapi persoalan di lapangan tidak selalu mudah, karena ada beragam kepentingan kelompok yang ingin menguasai kilang minyak ini.
Apalagi, harus diingat di Sumatera pada saat itu ada pergolakan baik PRRI maupun DI/TII yang tentu akan sangat menyulitkan siapapun untuk menangani situasi ketika itu.
Semua itu harus dilewati JM Pattiasina sebagai satu-satunya Direktur Permina yang tinggal di Pangkalan Brandan.
Akibatnya, berbagai upaya perbaikan kilang tidak pernah dilakukan dengan baik. Namun, kehadiran teknisi tentara dari Zeni Pioner ini perlahan-lahan memperbaiki kilang dan pipa yang rusak.
JM Pattiasina memiliki karir panjang di perusahaan minyak Belanda sebagai teknisi kilang. Bahkan, ketika Jepang menduduki kilang di Palembang yang juga dihancurkan sebelum ditinggalkan Belanda, JM. Pattiasina terpaksa harus menghadapi siksaan Jepang agar memperbaiki kilang di Palembang.
Namun, setelah tahun berganti tahun. Pertamina meluncur sebagai salah satu perusahaan raksasa.
Bahkan, pada masa orde baru merupakan sumber utama anggaran negara. Tapi, sejarah Pertamina tidak boleh dilupakan. Lahir dan tumbuh di antara ilalang dan puing kehancuran yang ditinggalkan akibat perang.
Pada November 2021 lalu, saya berkomunikasi dengan beberapa kolega yang juga merupakan keluarga besar Pertamina di Aceh, Medan dan Pangkalan Brandan, apa yang terdengar selama ini kalau Pangkalan Brandan kembali menjadi puing-puing ternyata mendapat konfirmasi kalau wilayah ini memang telah ditinggalkan Pertamina.
Ya benar. Pangkalan Brandan kembali menjadi puing-puing bukan karena perang, tetapi karena minyak telah selesai dikeruk dan Pangkalan Brandan dibiarkan menjadi saksi bisu dari pesta besar dan Pangkalan Brandan harus membayar biaya pesta sekaligus membersihkan sampah yang dibiarkan teronggok.
Sesungguhnya pada Desember 2021 ini, saya hendak mengunjungi Pangkalan Brandan, tetapi rencana itu tidak terjadi karena kendala di luar rencana.
Saya hampir tidak percaya kalau Pangkalan Brandan dibiarkan kembali menjadi puing-puing.
Bagaimanapun PT. Pertamina lahir di tempat ini, sehingga ketika Pangkalan Brandan diperlakukan seperti itu, maka jangan kaget dan menyalahkan rakyat ketika mereka menolak mentah-mentah wilayahnya dijadikan lokasi tambang atau mengeksploitasi kekayaan alam.
Sebab, Pangkalan Brandan telah menjadi prasasti sebagai ramalan akan nasib masa depan daerah kaya setelah kekayaan alamnya diambil.
Padahal, Pangkalan Brandan menjadi tonggak kebangkitan ekonomi Indonesia ketika terpuruk akibat perang dan pergolakan di berbagai daerah pada tahun 1950-an.
Situasi ekonomi pada masa itu antara lain ditandai dengan inflasi yang tidak terkendali sehingga melahirkan kebijakan devaluasi rupiah mata uang rupiah dipangkas dari Rp 500 menjadi Rp 50 dan dari Rp 1.000 menjadi Rp 100.
Di tengah situasi yang sulit inilah Pangkalan Brandan hadir memberikan harapan dan memang itu menjadi kenyataan.
Semoga dengan usia 64 tahun Pertamina pada tahun 2021 ini menjadi momentum untuk memikirkan nasib Pangkalan Brandan yang telah berjasa menjadikan Pertamina sebagai perusahaan raksasa.
Sebab, tanpa Pangkalan Brandan mungkin saja sejarah PT. Pertamina tidak pernah ada. Kalau Pertamina mengetahui darimana berasal, maka dengan sendirinya Pertamina mengetahui kemana akan pergi.
Tanpa mengetahui asal, jangan pernah mengharapkan Pertamina tahu kemana akan pergi.
Sebelum ditangani TNI AD, minyak ini dikelola Tambang Minyak Sumatera Utara. Kemudian didirikan PT. ETMSU untuk mengelola tambang minyak, tetapi Jenderal Nasution meminta namanya diganti.
Untuk itu, pada 10 Desember 1957, PT. ETMSU resmi berubah menjadi PN. Perusahaan Minjak Nasional (Permina).
Jadi, Permina ini didirikan berdasarkan surat Keputusan Menteri Perindustrian tanggal 15 Oktober 1957 Nomor 3177/M dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat tanggal 15 Oktober 1957 No. PRT/PM/017/1957.
Pada tahun 1960-an, PN Permina berubah lagi menjadi PN Pertamina, kemudian menjadi PT. Pertamina sampai dengan saat ini. Perubahan nama ini bukan sekadar identitas tetapi juga ada perbedaan cara mengelola.
Sebab, Perusahaan Negara merujuk kepada kehadiran negara untuk mengelola sumber daya alam. Sementara, perubahan menjadi Perseroan Terbatas (PT) lebih menekankan perhitungan untung rugi semata.
Untuk itu, tak heran kalau Pangkalan Brandan ditinggalkan begitu saja, karena sekadar melihat untung dan rugi sebagai perusahan, bukan mewakili kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya alam, Kalau ini yang terjadi, maka sebenarnya cita-cita semula untuk menguasai sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat sebagai amanat pasal 33 UUD 1945 akan semakin ditinggalkan.
Setidaknya, perlakuan terhadap Pangkalan Brandan menunjukkan hal seperti itu. Selamat Hari Jadi untuk Pertamina! Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation.