Jakarta ( Berita) : Para pengunjuk rasa kembali ke jalan-jalan Myanmar pada Rabu (10/2/2021), setelah hari yang paling kejam dalam demonstrasi menentang kudeta yang menghentikan transisi tentatif menuju demokrasi di bawah pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
“Kami tidak bisa tinggal diam. Jika ada pertumpahan darah selama protes damai kami, maka akan ada lebih banyak jika kami membiarkan mereka mengambil alih negara,” kata pemimpin pemuda Esther Ze Naw kepada Reuters.
Ribuan orang bergabung dalam demonstrasi di kota utama Yangon. Sementara di Ibu Kota Naypyitaw, ratusan pegawai pemerintah berbaris untuk mendukung kampanye pembangkangan sipil yang berkembang, yang dimulai oleh petugas kesehatan.
Seorang dokter mengatakan seorang pengunjuk rasa diperkirakan meninggal karena luka tembak di kepala dalam unjuk rasa pada Selasa (9/2). Dia terluka ketika polisi menembakkan senjata, sebagian besar ke udara, untuk “membersihkan” pengunjuk rasa di Naypyitaw.
Tiga orang lainnya sedang dirawat karena luka yang dicurigai akibat peluru karet, kata dokter.
Para pengunjuk rasa juga terluka di Mandalay dan kota-kota lain, di mana pasukan keamanan menggunakan meriam air dan menangkap puluhan orang.
Di sisi lain, media pemerintah melaporkan cedera yang dialami polisi selama upaya mereka membubarkan pengunjuk rasa, yang dituduh melempar batu dan batu bata. Militer telah memberlakukan pembatasan pertemuan dan jam malam di kota-kota terbesar di negara itu.
Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa, yang menuntut pembalikan kudeta dan pembebasan Suu Kyi serta para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan aktivisnya yang ditahan.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan sedang meninjau bantuan ke Myanmar untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kudeta menghadapi “konsekuensi yang signifikan”.
“Kami mengulangi seruan kami kepada militer untuk melepaskan kekuasaan, memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, membebaskan mereka yang ditahan, dan mencabut semua pembatasan telekomunikasi dan menahan diri dari kekerasan,” kata juru bicara Ned Price di Washington.
PBB meminta pasukan keamanan Myanmar untuk menghormati hak rakyat untuk melakukan protes secara damai.
“Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap para demonstran tidak dapat diterima,” kata perwakilan PBB di Myanmar Ola Almgren.
Unjuk rasa tersebut adalah yang terbesar di Myanmar dalam lebih dari satu dekade, menghidupkan kembali ingatan hampir setengah abad pemerintahan langsung militer dan gelombang pemberontakan berdarah sampai militer mulai melepaskan sebagian kekuasaan pada 2011.
Avinash Paliwal, dosen senior hubungan internasional di School of Oriental and African Studies di University of London, mengatakan Myanmar tidak akan kembali terisolasi seperti di masa lalu, karena China, India, ASEAN, dan Jepang tidak mungkin memutuskan hubungan dengan negara itu.
“Negara ini terlalu penting secara geo-strategis untuk memungkinkan itu (pemutusan hubungan–red) terjadi. AS dan negara-negara Barat lainnya akan memberikan sanksi—tetapi kudeta ini dan konsekuensinya akan menjadi cerita Asia, bukan cerita Barat,” kata Paliwal. (ant/rtr )